Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis I Pengelolaan Kredit Mesti Diawasi Lebih Ketat

Bank Sistemik Bertambah, Risiko Sistem Keuangan Meningkat

Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Waspadai risiko kredit macet di sektor konsumsi, seperti kredit properti.

>>Lima belas bank sistemik ini harus memenuhi tambahan modal secara bertahap.

JAKARTA - Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melaporkan pada April 2018 jumlah bank berdampak sistemik (systemically important bank) mencapai 15 bank, atau bertambah empat bank dibandingkan posisi pada September 2017.

Sejumlah kalangan menilai jumlah bank sistemik yang bertambah harus menjadi perhatian khusus bagi OJK.

"Salah satunya karena kredit macet terutama di sektor konsumsi, seperti kredit kendaraan bermotor maupun properti. Itu salah satu indikasi pelemahan daya beli masyarakat," kata peneliti Indef, Bhima Yudhistira, di Jakarta, Selasa (1/5).

Selain itu, lanjut dia, hingga 2017 masih banyak persoalan sengketa kredit macet yang belum selesai. Artinya, restrukturisasi kredit macet masih terus berjalan di beberapa bank.

Menurut Bhima, resiko di sistem keuangan beresiko naik karena perbankan terlalu agresif dan optimistis pada periode 2014-2016.

"Nah, ini dampaknya baru terasa pada 2018," jelas dia. Bank yang disebut berdampak sistemik merupakan bank yang jika mengalami gangguan likuiditas atau kolaps akan berdampak ke perbankan lain, bahkan berpotensi menimbulkan krisis di sektor keuangan.

Bhima menilai pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kurang optimal. Sebab, beberapa bank memiliki kredit macet atau non-performing loan (NPL) di atas 5 persen.

Hal ini mengindikasikan manajemen risiko atau pengelolaan kredit di setiap perbankan itu belum diawasi dengan ketat oleh OJK, sehingga berpotensi menimbulkan risiko bagi perbankan. "Jangan sampai kasus seperti Bank Century atau kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) terjadi lagi.

Melihat kondisi sekarang ini, tidak menutup kemungkinan mengarah pada kondisi krisis keuangan ke depannya," tukas dia. Di sisi lain, Bhima juga mengingatkan risiko kurs pada kinerja perbankan nasional.

Lembaga pemeringkat internasional, Standard and Poor's pernah memprediksi apabila nilai tukar rupiah tembus 15.000 rupiah per dollar AS, maka akan banyak perusahaan yang gagal bayar utang. "Nah, ini akan sistemik juga pada perbankan. Waktu itu stress test-nya 15.000 rupiah.

Sekarang sudah hampir 14.000 rupiah per dollar AS. Ini yang agak mengkhawatirkan, ada tekanan dari global yang agak besar, sementara di dalam negeri kepercayaan investornya mulai berkurang.

Terus indeks keyakinan konsumen terus turun," imbuh Bhima. Berkaca pada krisis 1998, kata Bhima, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengawasi secara ketat bank sistemik yang berisiko. Modal perbankan saat ini terbilang cukup memadai. "Yang perlu diperbaiki sebenarnya dari manajemen risiko penyaluran kreditnya," ujar dia.

Susun "Recovery Plan"

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, menjelaskan penambahan jumlah bank sistemik itu karena peningkatan jumlah aset, jangkauan hubungan dengan industri keuangan lain, dan kompleksitas produk bank tersebut.

"Lima belas bank sistemik ini harus memenuhi tambahan modal (capital surcharge) secara bertahap, dan harus membuat recovery plan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan," kata Wimboh yang juga anggota KSSK, Senin (30/4). Meski begitu, dia enggan mengungkapkan nama 15 bank tersebut.

KSSK menetapkan bank yang berdampak sistemik setiap enam bulan sekali. Artinya, status bank berdampak sistemik tidak permanen, tergantung apakah bank pada periode tertentu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh OJK.

Kriteria itu berdasarkan jumlah aset yang dimiliki, kompleksitas produk yang beragam dengan besaran konglomerasi keuangan yang menaungi bank tersebut.ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top