Bangun Ekonomi yang Adil dan Merata untuk Atasi Ketimpangan
Wakil Menteri Keuangan RI, Suahasil Nazara - Pemerataan hanya dapat diatasi dengan mencari sumber-sumber baru seperti pembangunan infrastruktur transportasi dan energi, serta mendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru yang bersumber dari industrialisasi dan digitalisasi.
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi Universitas Airangga (Unair), Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia, pemerintah harus mengupayakan pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan merata.
"Problem kemiskinan di Indonesia bersifat struktural karena bisnis dikuasai golongan elite yang minoritas, ini yang membuat kesempatan orang miskin yang ingin naik kelas sulit, karena secara akses mereka akan terhalang," kata Bagong.
Mereka tidak punya koneksi yang bisa diandalkan untuk alternatif bergantung. Strategi dan program-program yang ada harus secara efektif dan memihak masyarakat miskin. Dia pun mengusulkan agar masyarakat miskin perlu mendapat subsidi yang berbentuk aset. Sebab, kalau dana atau modal yang diberikan, dikhawatirkan akan cepat habis. Aset lebih sustainable untuk memutar perekonomian kaum menengah ke bawah.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atmajaya, Harry Seldadyo, dalam diskusi dengan tajuk Refleksi Demokrasi Indonesia, yang digelar Universitas Atmajaya, Senin (23/9), mengatakan fenomena ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia dinilai sangat berbeda dengan pola yang umumnya berlaku secara global.
Secara global, apabila demokrasi dan dinasti itu berjalan beriringan maka pengaruh demokrasi akan makin kuat mengendalikan dinasti sehingga berimplikasi pada kesetaraan (equality), baik sosial maupun ekonomi. Harry mengatakan di Indonesia ketika demokrasi dan dinasti berjalan bersama maka justru ketimpangan itu semakin lebar. "Itu yang terjadi di Indonesia selama reformasi hingga sekarang," kata Harry.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Amalinda Savirani, pada diskusi yang sama mengatakan rezim sekarang di satu sisi memang jor-joran, tetapi di sisi lain mengambil lahan rakyat seperti program food estate di Merauke yang menurut banyak ilmuwan bakal kembali gagal. Sebelumnya, peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa mengatakan, ketimpangan masih menjadi problem struktural yang berkaitan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial lainnya seperti halnya kemiskinan dan pengangguran.
Ketimpangan tersebut secara personal mewujud dalam ketimpangan pendapatan dan pemilikan aset/lahan, sedangkan secara sistemik berupa ketimpangan dalam produksi, distribusi (tata niaga), dan pasar. "Implikasinya adalah ketimpangan dalam pemilikan uang di rekening tersebut," jelas Awan Awan mengatakan bahwa masalah ketimpangan dan kemiskinan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan bansos (bantuan sosial).
"Problem struktural terangnya semestinya diselesaikan secara struktural juga melalui demokratisasi perekonomian, bukan dengan bansos,"tukasnya. Adapun konkret demokratisasi ekonomi itu ialah redistribusi aset/lahan produksi untuk rakyat sesuai amanat reformasi agraria, demokratisasi BUMN, revitalisasi koperasi sejati serta redistribusi pendapatan melalui upah layak dan adil untuk pekerja dan saham untuk pekerja.
Tidak Ada Sinergi
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan 60 persen produk domestik bruto (PDB) disumbang oleh sektor informal atau UMKM dan 90 persen tenaga kerja juga diserap oleh sektor informal atau UMKM.
"Kondisi ini telah berjalan puluhan tahun tanpa ada perubahan struktur ekonomi yang berarti. Keberadaan Kementerian koperasi dan UMKM serta perhatian dari kementerian dan lembaga pemerintah tidak mampu memberdayakan UMKM secara berarti.
Dampaknya, kue ekonomi tetap tidak adil," tegas Suhartoko. Dia mengatakan tampaknya ada sesuatu yg tidak pas dalam upaya pemerintah, yaitu tidak adanya sinergi dalam peran masing-masing Kementerian dan Lembaga dalam memberdayakan UMKM, sehingga sering kali programnya tumpang tindih.
Program pun menjadi tidak efisien dan efektif. Hal lainnya adalah pemberdayaan tidak berdasarkan sesuatu yang dibutuhkan oleh UMKM, misalnya pemberian alat produksi sering kali tidak bisa digunakan karena teknologi terlalu tinggi alias tidak tepat guna.
"Pemberdayaan harus mendorong kemandirian dan membangun jaringan ekonomi, seperti jaringan produksi, pemasaran, keuangan, bahkan sumber saya manusia (SDM). Tanpa itu, maka jangan harap masalah kemiskinan struktural ini teratasi," pungkasnya. Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan RI, Suahasil Nazara dalam suatu kesempatan mengatakan pemerataan hanya dapat diatasi dengan mencari sumber-sumber baru seperti pembangunan infrastruktur transportasi dan energi, serta mendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru yang bersumber dari industrialisasi dan digitalisasi.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik