Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Bahaya Tren ‘Mouth Taping’ Bagi Penderita Apnea Tidur

Foto : Freepik

Ilustrasi Mouth Taping.

A   A   A   Pengaturan Font

Tren menutup mulut dengan plester atau mouth taping ketika tidur kembali populer di media sosial. Namun ada bahaya serius yang mengintai dibalik kebiasaan ini.

Mouth Taping kembali diperbincangkan usai sebuah video yang merekomendasikan penggunaan plester mulut menjadi viral di media sosial di Amerika Serikat (AS). Banyak selebriti Korea Selatan yang juga mengikuti tren ini dan menunjukkannya dalam acara ragam yang ditayangkan di televisi nasional. Di Indonesia sendiri, memplester mulut sempat viral pada 2019, setelah penyanyi jazz Andien membagikan foto keluarganya yang memplester mulut ketika hendak tidur. Dalam unggahan, Andien menjelaskan kebiasaan memplester mulut ketika tidur dilakukannya untuk menghindari berbagai penyakit yang timbul dari kesalahan cara bernapas.

Walau memiliki manfaat, Mouth Taping tidak disarankan bagi mereka yang mengalami apnea tidur yang obstruktif. Berbicara kepada CNN International, profesor kedokteran klinis Raj Dasgupta memperingatkan memplester mulut bisa sangat berbahaya jika seseorang menderita apnea tidur obstruktif. Menurutnya, hanya ada sedikit bukti ilmiah tentang manfaat memplester mulut ketika tidur.

"Buktinya terbatas tentang manfaat plester mulut dan harus sangat berhati-hati. Butuh berbicara dengan penyedia layanan kesehatan sebelum mencobanya," ujar Dasgupta.

Apnea tidur yang obstruktif sendiri merupakan salah satu gangguan tidur yang paling umum di mana seseorang tiba-tiba berhenti bernapas saat tidur dan ini merupakan salah satu penyebab paling umum dari tidur yang buruk.

Sebuah penelitian yang dipublikasi di Lancet Respiratory Medicine pada 2019 silam menuturkan apnea tidur yang obstruktif merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang diakui secara global dan telah memengaruhi hingga 936 juta orang dewasa dalam populasi umum.

Melansir studi Multinight Prevalence, Variability, and Diagnostic Misclassification of Obstructive Sleep Apnea, yang dipublikasikan di situs resmi National Library of Medicine AS, apnea tidur yang obstruktif terjadi ketika otot di bagian belakang tenggorokan rileks dan menghalangi jalan napas saat seseorang tidur yang pada akhirnya menyebabkan seseorang berhenti bernapas.

Kondisi tersebut dapat berlangsung selama lebih dari 10 detik dan terjadi berkali-kali dalam semalam, menyebabkan seseorang terengah-engah, mendengkur, dan terbangun tiba-tiba saat tubuh tengah berjuang mendapatkan udara. Orang dengan kelebihan berat badan atau obesitas, terutama dengan struktur leher yang pendek dan lebar, berisiko menderita apnea tidur yang obstruktif.

Adapun apnea tidur yang obstruktif dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen selama 10 detik sampai 20 detik dan hal ini akan tampak pada kondisi badan sepanjang hari. Mengutip laman Pusat Jantung Nasional, penderita apnea tidur yang obstruktif seringkali merasa lelah atau mengantuk meskipun tidur cukup atau lebih dari tujuh jam dalam sehari.

Mereka juga kerap merasakan nyeri kepala secara reguler ketika bangun tidur. Dampak dari kurangnya tidur ini juga akan memengaruhi emosi dan fungsi kognitif sehingga penderita apnea tidur yang obstruktif akan merasa sangat sulit untuk konsentrasi.

Sayangnya, seringkali penderita kondisi ini tidak menyadarinya sehingga dampak buruk dari apnea tidur yang obstruktif dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum terdiagnosis. Dalam jangka panjang, apnea tidur yang obstruktif yang tidak diobati dapat menyebabkan hipertensi, penyakit jantung, stroke dan diabetes.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top