Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Reformasi Hukum

Aturan Pidana Mesti Perhatikan Lapas

Foto : Istimewa

Ilustrasi penjara.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah dan DPR diminta serius membahas pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kebijakan alternatif pemidanaan non pemenjaraan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) harus jadiarus utama restorative justice. Hal lain yang sangat penting yaitu reformasi kebijakan pidana harus perhatikan Lapas.

"Kondisi Lapas sudah bukan rahasia lagi, cukup buruk, harus menjadi perhatian pemerintah. Overcrowding Rutan dan Lapas yang terjadi terus menerus tak pernah ada solusi yang komprehensif untuk mengatasinya," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, di Jakarta, Senin (20/7).

Menurut Erasmus, sebagai catatan, sebelum kebijakan pelepasan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) untuk pencegahan penyebaran Covid-19, per Maret 2020 jumlah penghuni Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas Rutan dan Lapas hanya dapat menampung 132.335 orang.

Tidak Komprehensif

Kesimpulannya beban Rutan dan Lapas di Indonesia mencapai 204 persen. Sayangnya, solusi atas permasalahan tersebut tidak komprehensif dan hilang timbul. Pemerintah tidak begitu memperhatikan pangkal permasalahan kondisi overcrowding adalah kebijakan pemidanaan di Indonesia.

"Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rutan dan Lapas. Dalam lampiran Permenkumham dinyatakanupaya penanganan overcrowding harus dilakukan dengan mengubah kebijakan dan mereformasi paradigma penghukuman yang kental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia," ujarnya.

Permenkumham ini, lanjut Erasmus,menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif menahan tersangka atau terdakwa dalam masa persidangan. Per Maret 2020, jumlah tahanan di Rutan atau Lapas di Indonesia menyumbang 24 persen dari jumlah penghuni. Hal ini disebabkan adanya paradigma penegak hukum bahwa penahanan merupakan suatu keharusan. Padahal KUHAP menyediakan mekansime lain, misalanya tahanan kota, tahanan rumah atupun mekanisme penangguhan penahanan.

"Untuk penahanan Rutan, KUHAP sudah menyatakan seorang tersangka "dapat" dikenai penahanan, dan bukan "harus" dikenai penahanan. Sikap seperti ini yang dikritik Permenkumham ini. Pola pikir praktis seperti ini sangat berdampak pada isi hunian di Lapas dan Rutan, karena semakin tinggi penghukuman dengan menggunakan media penahanan maka semakin tinggi jumlah hunian dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tersedia atau lazim disebut overcrowded," katanya.

Menurut Erasmus, visi UU di Indonesia yang bernuansa penjara, menjadi penyebab dari permasalahan kondisi overvrowded pada Rutan dan Lapas. Sebagai contoh, dalam Rancangan KUHP yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis. n ags/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top