Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Energi Ramah Lingkungan

Asean Mampu Hasilkan 12% Bahan Bakar Hijau Jet Global yang Dibutuhkan pada 2050

Foto : ANTARA/NOVA WAHYUDI

Petugas mengisi bahan bakar avtur ke pesawat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang, Sumatera Selatan, baru-baru ini. Penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan menawarkan potensi terbesar untuk mengurangi emisi karbon industri penerbangan selama 30 tahun ke depan.

A   A   A   Pengaturan Font

SINGAPURA - Menurut laporan yang dirilis pada hari Selasa (3/9), Asia Tenggara (Asean) berpotensi memasok sekitar 12 persen dari total bahan bakar jet hijau global yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan nol bersih sektor penerbangan pada tahun 2050.

Dikutip dari The Straits Times, hal ini setara dengan sekitar 45,7 juta ton bahan bakar penerbangan berkelanjutan setiap tahun pada tahun 2050, dicapai melalui pemrosesan bahan mentah yang juga dikenal sebagai bahan baku, seperti sekam padi, tebu, dan residu minyak sawit.

Angka-angka ini berasal dari laporan tentang produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan di Asia Tenggara, yang ditugaskan pada pertengahan tahun 2023 oleh Roundtable on Sustainable Biomaterials (RSB), jaringan kolaboratif organisasi global yang mendorong keberlanjutan dan didukung oleh produsen pesawat Boeing.

Laporan tersebut menunjukkan sekam padi dan jerami merupakan bahan utama di kawasan ini untuk produksi bahan bakar jet hijau karena ketersediaannya yang tinggi, yakni sebesar 37 persen dari bahan baku yang tersedia di seluruh negara Asean (Association of Southeast Asian Nations).

Mereka menimbulkan risiko lingkungan dan sosial yang rendah, seperti penggundulan hutan dan tekanan pada sumber air, serta potensi pelanggaran hak asasi manusia dan hak buruh.

Bahan-bahan utama lainnya termasuk limbah padat kota, ampas tebu, dan pati akar. "Ketersediaan bahan baku di Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina menyumbang sekitar 90 persen kapasitas produksi Asia Tenggara," bunyi hasil studi RSB.

"Penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan menawarkan potensi terbesar untuk mengurangi emisi karbon industri penerbangan selama 30 tahun ke depan," kata Boeing dalam sebuah pernyataan pada 3 September.

Energi Lebih Bersih

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, badan PBB yang menetapkan standar dan praktik global untuk operasi transportasi udara, menargetkan emisi nol bersih untuk sektor penerbangan pada tahun 2050 dan pengurangan emisi karbon sebesar 5 persen pada tahun 2030 melalui penggunaan sumber energi yang lebih bersih.

Pada kuartal pertama tahun 2025, Asosiasi Transportasi Udara Internasional juga akan menyiapkan pendaftaran bahan bakar penerbangan berkelanjutan untuk memungkinkan maskapai penerbangan melaporkan pengurangan emisi secara akurat.

"Hingga tahun 2023, bahan bakar penerbangan hijau tanpa campuran, bahan bakar yang sepenuhnya bebas dari bahan bakar fosil, hanya mencakup 0,2 persen dari bahan bakar komersial yang digunakan secara global," tambah Boeing.

Di Singapura, pihak berwenang telah menetapkan target nasional untuk bahan bakar jet hijau sebesar 1 persen dari seluruh bahan bakar penerbangan yang digunakan di Bandara Changi dan Bandara Seletar pada tahun 2026. Sasaran akhirnya adalah mencapai 3 persen hingga 5 persen penggunaan bahan bakar berkelanjutan pada 2030.

Untuk mendukung hal ini, pemerintah akan mengenakan pungutan penumpang pada semua penumpang yang mengambil penerbangan dari Bandara Changi mulai tahun 2026, yang akan berkontribusi pada pembelian massal bahan bakar penerbangan berkelanjutan yang perlu digunakan maskapai penerbangan di sini.

Singapura juga merupakan rumah bagi kilang Tuas South milik raksasa energi Neste, fasilitas produksi bahan bakar jet terbesar di dunia yang terbuat dari bahan limbah, yang mampu memproduksi hingga satu juta ton bahan bakar jet hijau setiap tahun.

Untuk mempromosikan produksi bahan bakar jet hijau regional di masa mendatang, laporan tersebut merekomendasikan agar pemerintah menerapkan kebijakan yang memberikan insentif bagi produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan.

Ini termasuk kolaborasi dengan organisasi pemerintah daerah dan organisasi non-pemerintah, serta subsidi untuk proyek produksi bahan bakar jet hijau yang dipimpin industri.

Laporan tersebut juga menyarankan agar pelaku industri dan peneliti lebih fokus pada pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan dengan menggunakan bahan baku dengan ketersediaan lebih tinggi dan risiko keberlanjutan yang lebih rendah.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top