Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Aplikasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa

A   A   A   Pengaturan Font

Judul buku : Makrifat Pagi: Percik Embun Spritualitas di Terik Republik

Penulis : Yudi Latif

Penerbit : Mizan

Cetakan : Maret 2018

Tebal : 326 halaman

ISBN : 978-602-441-047-6

Buku yang ditulis Yudi Latif ini berusaha merenungi tiap detail nilai Pancasila dikonfrontasikan dengan masalah yang dihadapi bangsa ini. Seperti halnya Pancasila, buku ini dibagi menjadi lima bagian. Bab pertama tentang Ketuhanan. Menurut mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini, nilai ketuhanan identik dengan cinta. Semua agama diturunkan Tuhan untuk menyemaikan cinta-Nya di muka bumi. Kitab suci, para nabi, ibadah ritual dan syariat hanyalah media bagaimana cinta Tuhan benar-benar bisa dilaksanakan. Agama cinta memberi kita kehidupan, kekuatan, keluhuran dan keseimbangan (hlm 4).

Ketika formalisme, kemeriahan dan gegap gempita simbol mengemuka, cinta tercerabut dari agama, digantikan dengan egoisme, kepentingan kelompok, perebutan kuasa, klaim paling benar serta perlombaan memoles penampilan lahir. Agama tidak lagi menjadi jalan sunyi mencari dan menyemai ketentraman. Beragama dalam kesunyian adalah kunci utama. "Buah dari kesunyian adalah peribadatan. Buah dari peribadatan adalah keyakinan. Buah dari keyakinan adalah kecintaan. Buah dari kecintaan adalah pelayanan. Buah dari pelayanan adalah perdamaian, " kata Bunda Teresa (hlm 16).

Bab kedua menjelaskan bahwa kemanusian terletak pada rasa simpati. Jauhnya jarak yang miskin dengan yang kaya, pejabat dan rakyat, ulama dan umat dalam bangsa ini disebabkan tidak ada rasa simpati yang menyambungkan keduanya. Perasaan simpati tidak membeda-bedakan etnis, agama, budaya dan status sosial. Mencius berkata bahwa rasa simpati bersemayam dalam jiwa yang sehat. "Jika seseorang melihat anak kecil berdiri di tubir jurang, secara refleks dia akan menghela anak tersebut tanpa sempat berpikir apa suku, agama, keuntungan yang didapat," kata filsuf Konfusius tersebut (hlm 76).

Nilai kebangsaan sumber utamanya adalah menerima perbedaan. Namun jangan hanya berhenti di situ. Perbedaan bukanlah titik-temu. Ia adalah hamparan fakta yang harus diakomodasi seraya terus mencari titik-temu persamaannya. Jika kulit berbeda, lihatlah tulang yang putih sama. Jika etnis berbeda, mantapkan dalam kalbu bahwa ia berasal dari induk tunggal yang sama. Agama berbeda, namun sama-sama menyembah Tuhan. Nama Tuhan berbeda sadarilah ia hanyalah sebutan untuk esensi Tuhan yang sama. "Sejauh berjalan di atas kebenaran, akan selalu ada titik-temu. Karena tidak ada kebenaran yang mendua, " tulis Yudi Latif (hlm 135).

Kerakyatan dan kepemimpinan yang dibahas dalam bab empat mengulas bahwa pemimpin yang merakyat mesti berpengatahuan, punya pengalaman terlibat dalam urusan umum dan punya gagasan cemerlang serta kemampuan menaruh rakyat di hatinya. Pemimpin yang berkerakyatan siap menderita. "Mempertanggung jawabkan kekuasaan bagi kebesaran dan keluasan bangsa Indonesia sungguh berat, kecuali bagi mereka yang tidak takut kehilangan apapun selain kebenaran dan keadilan, " tulis Yudi Latif (hlm 187). Peneliti senior LIPI ini melihat partai-partai banyak gagal mendidik pemimpin seperti itu karena fokus pada pencitraan, kekuatan uang, koaliasi dan taburan janji utopis demi merebut tahta dan harta saja, sehingga minim memproyeksikan calonnya pada kerja prinsipil yang berkerakyatan.

Masalah keadilan sosial sebenarnya perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila. Sayangnya ia justru paling diabaikan selama belasan tahun Reformasi. Era Reformasi memberikan surplus kebebasan, tetapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial yang makin lebar. Rentan sekali muncul kecemburuan dan perlawanan sosial yang bisa merobek jahitan persatuan nasional dengan memperalat simbol agama atau primordial sebagai legitimasi. Solusi terbaik ada pada pendidikan, walaupun realitas pendidikan Indonesia masih terus mengalami uji coba.

Buku ini merupakan rangkuman renungan Yudi Latif yang sudah viral di berbagai media. Memiliki kekuatan data dan perpektif. Dibungkus dengan bahasa santai dan kadang puitis sehingga membuat tulisan yang merangkum persoalan nilai-nilai Pancasila ini lebih bisa mudah dipahami.


Peresensi Redy Ismanto, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Komentar

Komentar
()

Top