Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Antisipasi Krisis Global I Menkeu Diminta Berhati-hati Mengelola Belanja

APBN Lebih Kuat jika Bunga Obligasi Rekap BLBI Dimoratorium

Foto : ISTIMEWA

Presiden meminta agar APBN digunakan untuk hal yang produktif dan memberikan imbal hasil yang jelas. “Saya selalu sampaikan ke Ibu Menteri Keuangan. Kalau punya uang kita, di APBN kita, di-eman-eman, dijaga, hati-hati mengeluarkannya. Harus produktif, harus memunculkan return yang jelas, karena kita tahu sekali lagi, hampir semua negara tumbuh melemah, terkontraksi ekonominya,”

A   A   A   Pengaturan Font

» Anggaran pembayaran bunga OR BLBI sangat besar, tetapi pemerintah seperti tutup mata.

» Kalau pemerintah berani menaikkan BBM, mestinya lebih berani moratorium obligasi rekap.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan efek domino dari krisis finansial, pangan, hingga krisis energi membuat seluruh negara di dunia berada pada ketidakpastian yang tinggi. Oleh karena itu, Presiden menekankan pentingnya Indonesia memiliki ketahanan yang panjang. "Perang (Russia-Ukraina) tidak akan berhenti besok, bulan depan, atau tahun depan.

Artinya, enggak jelas, sehingga yang kita perlukan, negara kita memerlukan sebuah endurance yang panjang," kata Presiden dalam sambutannya pada acara United Overseas Bank (UOB) Economic Outlook 2023 seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Jumat (30/9). Untuk menghadapi kondisi tersebut, Presiden pun mengingatkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, untuk berhati-hati dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Presiden meminta agar APBN digunakan untuk hal yang produktif dan memberikan imbal hasil yang jelas. "Saya selalu sampaikan ke Ibu Menteri Keuangan. Kalau punya uang kita, di APBN kita, di-eman-eman, dijaga, hatihati mengeluarkannya. Harus produktif, harus memunculkan return yang jelas, karena kita tahu sekali lagi, hampir semua negara tumbuh melemah, terkontraksi ekonominya," jelas Jokowi. Apalagi, semua negara saat ini tengah menyelesaikan masalah inflasi karena kenaikan harga barang dan jasa.

Kepala Negara memandang bahwa inflasi Indonesia sendiri masih cukup terkendali di angka 4,6 persen, masih lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Terkendalinya inflasi tersebut, kata Kepala Negara, karena keharmonisan hubungan antara otoritas fiskal (pemerintah) dengan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. "Coba bandingkan dengan negara yang lain, otoritas moneter dan otoritas fiskal, bank sentralnya naikin bunga, menteri keuangannya naikkan defisit.

Naikkan defisit itu artinya menggelontorkan uang lebih banyak ke pasar. Artinya ya menaikkan inflasi. Yang satu ngerem inflasi, yang satu mengerek inflasi. Di sini yang beda di situ, karena BI dan Kementerian Keuangan berjalan beriringan, rukun, sinkron, konsolidatif," kata Jokowi. APBN, kata Presiden, merupakan amunisi yang harus dijaga betul-betul oleh Menteri Keuangan. "Saya minta betul-betul dijaga hati-hati, bijaksana betul dalam menggunakan setiap rupiah yang kita miliki, tidak jor-joran, dan betul-betul harus dijaga.

Tidak boleh kita hanya berpikir uang itu hanya untuk hari ini atau tahun ini. Tahun depan seperti apa? Karena semua pengamat internasional menyampaikan bahwa tahun depan itu akan lebih 'gelap', tapi kalau kita punya persiapan amunisi, ini akan berbeda, sehingga betul-betul APBN kita APBN yang berkelanjutan," kata Presiden.

Merugikan Rakyat

Staf Ahli Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) DPD, Hardjuno Wiwoho, mengatakan di tengah situasi sulit hari ini, pemerintah harus fokus menghapus mata anggaran yang sangat merugikan rakyat yaitu pembayaran bunga obligasi rekap (OR) BLBI yang terus dibayar setiap tahun. "Anggaran ini sangat besar, tetapi pemerintah seperti tutup mata, padahal jelas negara mensubsidi konglomerat dengan uang rakyat.

Selama 20 tahun terakhir jika dirata-rata 60 triliun rupiah bunga dibayarkan maka 1.200 triliun rupiah terbuang sia-sia hanya menguntungkan para konglomerat yang kemudian menguasai ekonomi hajat hidup orang banyak. "Cek saja itu importir gandum siapa? Penerima BLBI dan obligasi rekap juga. Jangan yang diributin soal efisiensi rapat lagi.

Dilarang rapat di hotel lagi, sudah basi itu," tandas Hardjuno. Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, sepakat moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI perlu dilakukan. "Sudah saatnya melakukan moratorium subsidi pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, hal ini sangat penting untuk memenuhi rasa keadilan rakyat," kata Badiul.

Apalagi, kondisi APBN saat ini sedang tidak sehat yang ditunjukan oleh kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM yang diperuntukkan bagi masyarakat. "Jika pemerintah berani mengurangi subsidi BBM dan harus menghadapi ratusan juta rakyat, semestinya pemerintah juga berani melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI karena hanya kepada segelintir konglomerat. Sudah cukup, 23 tahun pemerintah membayar utang obligasi rekap BLBI," kata Badiul.

Menghadapi acaman resesi global tahun 2023, moratorium pembayaran utang obligasi rekap menjadi pilihan yang bijak untuk menyehatkan keuangan negara, sehingga mempunyai ketahanan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top