Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Evolusi Manusia

Apakah Homo naledi Mengubur Jenazah Mereka Sendiri?

Foto : afp/ Luca Sola
A   A   A   Pengaturan Font

Gagasan tentang Homo naledi mengubur mayat sendiri disampaikan oleh tim peneliti. Namun gagasan itu mengandung kontroversi karena volume otak spesies yang telah punah ini cukup kecil yaitu sepertiga ukuran otak ukuran otak manusia modern.

Pada tahun 2023, tim peneliti yang dipimpin oleh paleoantropolog terkenal Lee Berger, seorang National Geographic Explorer in Residence, menerbitkan serangkaian artikel dan membuat film dokumenter Netflix yang mengemukakan beberapa klaim luar biasa.

Mereka mengatakan telah menemukan bukti bahwa spesies manusia purba yang ditemukan pada 2013 dan dikenal dengan nama Homo naledi, telah sengaja mengubur jenazah mereka di dalam sistem gua Rising Star di Afrika Selatan sekitar tahun 250.000 SM lalu.

Lebih jauh, Berger dan tim mengatakan bahwa tanda-tanda ini yang ditemukan di dinding gua dekat sisa-sisa kerangka hominin kuno itu ditinggalkan oleh Homo naledi yang kemungkinan memiliki semacam makna simbolis.

Klaim ini langsung menimbulkan kontroversi, karena selain hidup antara 335.000 dan 236.000 tahun yang lalu, otak Homo naledi tampaknya cukup kecil dengan volumenya hanya sepertiga ukuran otak manusia modern. Jadi wajar saja jika para peneliti mulai menguji gagasan baru tentang kecerdasan yang sangat maju dari spesies manusia purba ini karena hal ini dinilai sebagai penyimpangan besar dari konsensus saat ini tentang Homo naledi.

Dalam sebuah artikel yang baru saja diterbitkan dalam jurnal PaleoAnthropology menolak gagasan tersebut. Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh profesor antropologi Universitas George Mason, Kimberly Foecke, melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bukti berarti yang menunjukkan bahwa Homo naledi benar-benar menguburkan mayat dari mereka yang telah mati.

Mereka mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Lee Berger dan rekan-rekannya itu cacat. Ia dinilai bertindak gegabah dengan mengumumkan hipotesisnya yang menakjubkan itu ke publik tanpa peninjauan dari rekan sejawat.

Menurut jurnalis Natahn Falde dalam tulisannya di Ancient Origins, yang awalnya memicu pengawasan ketat dari rekan-rekan mereka di komunitas antropologi adalah cara Berger dan timnya memilih untuk memperkenalkan teori mereka. Alih-alih mengirimkan karya mereka ke jurnal yang ditinjau sejawat, mereka memilih untuk menerbitkan artikel mereka tanpa tinjauan sejawat dalam jurnal akses terbuka yang dikenal sebagai eLife.

Model eLife memungkinkan para akademisi dan ilmuwan menerbitkan penelitian dalam bentuk yang dikenal sebagai bentuk pracetak, setelah itu peneliti lain diundang untuk menyampaikan pendapat mereka tentang kualitas dan kesimpulan dari karya tersebut. Para peneliti asli diharapkan menggunakan umpan balik ini untuk menyempurnakan, memodifikasi, atau mengubah studi dan kesimpulan mereka, dan kemudian mengirimkan karya yang telah diedit dan direvisi ke jurnal peer-review yang sebenarnya.

Dalam kasus ini, daripada menunggu untuk melalui proses tersebut, tim Berger segera menindaklanjuti artikel pracetak mereka dengan film dokumenter Netflix berjudul Unknown: Cave of Bones yang menyajikan teori tim kepada publik sebagai fakta yang mapan. Mereka melengkapi film dokumenter tersebut dengan kampanye publisitas yang ekstensif demi memastikan bahwa ide-ide mereka akan menjadi lebih dikenal luas.

Namun dalam artikel PaleoAnthropology yang baru diterbitkan, Foecke dan rekan-rekannya menyajikan bukti untuk menunjukkan bahwa metodologi yang diandalkan tim Berger untuk mencapai kesimpulan mereka yang menakjubkan itu cacat.

Pengujian Sedimen

Untuk menyelidiki apakah beberapa kerangka Homo naledi yang ditemukan di ruang Dinaldi di sistem gua Rising Star pernah dikubur di suatu titik, Berger dan kelompoknya melakukan studi ekstensif terhadap sedimen lantai gua yang mengelilingi tulang-tulang yang telah menjadi fosil.

Salah satu metode yang mereka gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan ini dikenal sebagai fluoresensi sinar-X (XRF), yang memerlukan pemboman sampel tanah dengan aliran sinar-X yang akan mengungkap komposisi kimianya.

Jika komposisi lapisan tanah di sekitar sisa-sisa kerangka lebih beragam daripada komposisi lapisan tanah yang lebih jauh, itu bisa berarti tanah telah digali dan dicampur oleh proses penguburan. Tim tersebut juga melakukan jenis pengujian lain yang dikenal sebagai analisis distribusi ukuran partikel (particle size distribution/PSD).

PSD yang mencari variasi ukuran butiran di tanah gua yang konsisten dengan tanah yang telah digali dan diisi kembali di sekitar mayat. Seperti yang ditunjukkan oleh kesimpulan mereka tentang praktik penguburan Homo naledi, tim Berger mengklaim bahwa pengujian mereka membuktikan bahwa tanah di sekitar beberapa kerangka memang telah digali, seperti yang diharapkan jika mayat-mayat itu dikubur.

Namun dalam penelitian mereka, Foecke dan rekan-rekannya membantah pernyataan ini. "Data yang diberikan tim Berger tentang prosedur pengujian mereka dalam artikel eLife mereka tidak lengkap," kata mereka dikutip dari Ancient Origins.

Ketika Foecke dan timnya mencoba menduplikasi hasil XRF dan PSD Berger menggunakan protokol pengujian normal, mereka tidak dapat melakukannya. Bahkan, mereka tidak menemukan bukti adanya pencampuran tanah di lantai gua Rising Star sama sekali, yang berarti tidak ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa Homo naledi telah mengubur seseorang atau sesuatu di sana.

"Saya berharap bahwa penelitian ini dapat menanamkan skeptisisme di masyarakat ketika menyangkut penelitian arkeologi di mata publik," kata Foecke dalam siaran pers Universitas George Mason yang mengumumkan temuan timnya. "Kita sering melihat pertunjukan mencolok dengan arkeolog karismatik yang menyajikan klaim besar tentang masa lalu, tetapi kita harus meminta pertanggungjawaban para ilmuwan yang berkomunikasi dengan publik terhadap sains itu sendiri dan memastikan bahwa kita sebagai sebuah bidang melakukan pekerjaan dengan baik," imbuh dia.

Sementara Lee Berger belum mengomentari penelitian baru yang meragukan kesimpulannya, salah satu rekannya telah melakukannya. Tebogo Makhubela, seorang ahli geokimia dari Universitas Johannesburg yang mengawasi pengujian sedimen yang dilakukan oleh tim Berger, telah mengakui bahwa beberapa karyanya harus dikesampingkan dari pertimbangan.hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top