Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 21 Sep 2024, 19:41 WIB

Anomali Kisah Penyintas Bencana Awan Panas Guguran Gunung Semeru

Sebagian Hunian Tetap yang terlihat sunyi di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, karena pemiliknya memilih "pulang kampung" untuk menjalankan profesi lama mereka.

Foto: Koran Jakarta / Selocahyo


Ribuan penyintas bencana awan panas guguran (APG) Gunung Semeru selama dua tahun terakhir telah menempati hunian tetap di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kini, Pemerintah bertekad menjadikan lokasi hunian tetap yang diberi nama Bumi Semeru Damai itu sebagai laboratorium penyintas bencana


LUMAJANG - Sebagai gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru yang masuk dalam wilayah Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang di Jawa Timur, telah berulang kali mengalami letusan sejak tahun 1800 an.

Pada 1 Desember 2020, Gunung Semeru mengalami letusan yang diikuti guguran awan panas dari puncak dengan jarak luncur mencapai hingga 11 kilometer. Dalam peristiwa erupsi 4 Desember 2021 guguran awan panas mengarah ke Besuk Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, menimbulkan sekitar 46 korban tewas, 9 hilang dan memaksa sekitar 9 ribu orang mengungsi.

Pada 4 Desember 2022, erupsi yang terjadi lebih luas karena berdampak pada empat kecamatan dan enam desa, namun tidak sampai menimbulkan korban jiwa karena
seluruh penduduk yang sebelumnya berada pada wilayah terdampak pada tahun 2021 sudah dipindahkan ke tempat relokasi yang aman .

Kegiatan relokasi pemukiman penduduk itu berlangsung cepat. Ketika Gunung Semeru erupsi pada 4 Desember 2021, pemerintah langsung menyiapkan lahan relokasi pada 13 Desember 2021.

Sebulan kemudian tepatnya pada 13 Januari 2022, lahan itu mulai dibersihkan. Pada 27 Maret 2022, lahan itu mulai dibangun rumah-rumah lengkap dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Kompleksitas penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah memerlukan suatu penataan dan perencanaan yang matang, terarah, dan terpadu. Menurut Dokumen Kajian Risiko Bencana tentang kondisi risiko bencana yang ada di Provinsi Jawa Timur, sebeumnya penanggulangan bencana yang dilakukan belum didasarkan pada langkah - langkah yang sistematis dan terencana, sehingga masih dijumpai tumpang tindih program dalam upaya penanggulangan bencana di Jatim.

Menurut dokumen tersebut, pemaduan dan penyelarasan arah penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah membutuhkan dasar yang kuat dalam pelaksanaannya.Dengan mengetahui kemungkinan besaran kerugian maka fokus perencanaan. dan keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi lebih efektif.

Sejak tahun 2022, sebanyak 1.951 Kepala Keluarga yang merupakan penyintas bencana awan panas guguran (APG) Gunung Semeru, menempati hunian tetap di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Lumajang telah menetapkan kawasan hunian penyintas di Desa Sumbermujur bernama "Bumi Semeru Damai" itu sebagai laboratorium penyintas bencana.

Kepala Desa Sumber Mujur, Yayuk Sri Rahayu, mengatakan, terdapat 1824 KK yang menempati dari 1951 hunian tetap (huntap) dan hunian sementara (huntara) yang dibnagun oleh Kementerian Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu.

"Dulu lahan ini berupa kebun cengkeh luas 82 hektar sebelum dijadikan lokasi hunian penyintas. Mereka datang bertahap sejak April 2022, sekarang sudah terdaftar jadi penduduk di sini," tutur kades yang baru menjabat dua hari saat erupsi tahun 2021 terjadi.

Yayuk menjelaskan, para penyintas berasal dari Desa Supit Urang dan Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, serta Desa Sumber Wuluh dan Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Lumajang.

"Fasilitasnya di sini lengkap mulai air, sekolah TK, SD, MAN (Madrasah Aliyah Negeri) sampai stadion dan kandang kambing komunal," tuturnya.

Dia menerangkan, Pemkab Lumajang menyiapkan kandang komunal (kandang koloni) atau kandang kelompok untuk pembesaran maupun penggemukan) kambing milik beberapa warga, sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi para penyintas.

"Selain beternak, warga juga mendapat bantuan modal dan pelatihan lain seperti bengkel dan menjahit. Sebagian jalan (berhasil), tapi ada juga kembali ke pekerjaan lama mereka," ujarnya.

Sayangnya, lanjut Yayuk, meskipun telah diberi fasilitas "A sampai Z" namun mayoritas warga ternyata tetap bertahan dengan profesi dan mata pencaharian mereka yang lama. Hal itu tampak dari pria dewasa yang jarang terlihat di Desa Sumber Mujur pada siang hari karena mereka harus kembali ke lahan pertanian atau lokasi penambangan pasir yang berjarak antara 8 hingga 15 kilometer dari kawasan hunian tersebut.

Dari pantauan Koran Jakarta, terbukti sejumlah rumah huntap dan huntara terlihat sepi dan tertutup rapat karena ditinggal bekerja oleh penghuninya.

Selain Gunung Semeru, Lumajang turut dikelilingi gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Bromo dan Gunung Lemongan, membuat daerah ini memiliki cadangan pasir besi seluas 60.000 hektar, cadangan terbesar di seluruh Indonesia, menjadikannya sebagai titik tumpu ekonomi warga.

"Tetap yang lama, karena di sini tidak ada lapangan kerja (yang menjanjikan), di sini cuma rumah. Rata-rata mereka penambang pasir dan petani, kan di sana (tempat asal) bagus sekali, produktif sekali untuk sayuran dan tebu," ujarnya.

"Mereka mengaku kalau di sini tidak ada mata pencaharian. Setiap saya ketemu saya tanya kenapa rumahnya tidak ditempati, jawabnya: kalau di sini saya makan apa," ujar Yayuk menirukan keluhan para warga.

Dia menjelaskan, para penyintas sebagian tetap meninggali rumah mereka yang lama di dusun asalnya, meskipun ada bagian yang rusak terdampak oleh erupsi Gunung Semeru.

"Kalau atapnya rusak diperbaiki, untuk tinggal sementara saat bekerja. Karena kalau setiap hari pulang-pergi, habis banyak di transport."

Yayuk menambahkan, dari keseluruhan 1951 KK yang menghuni Desa Sumber Mujur, hnaya sekitar 600 sampai 700 keluarga yang menetap permanen.

"Yang banyak sisanya itu, mereka wira-wiri (pulang-pergi) untuk bekerja. Ada yang satu bulan sekali ke sini, satu minggu sekali, macam-macam," ungkapnya.

Dia menjelaskan, para penyintas telah menerima SK penempatan Huntap/Huntara dari pemerintah, dan desa tidak bisa mencabut hak penempatan rumah yang tidak atau jarang ditinggali karena penghuninya yang bekerja di tempat asalnya.

"Kami tidak punya kewenangan untuk memaksa mereka tidak kembali bekerja di kampung asalnya. Kalau kita mengharuskan mereka tetap di sini, kita harus menyediakan pekerjaan."

Ngatumi, salah satu penyintas yang ditemui membenarkan pernyataan tersebut. Perempuan berusia 43 tahun yang kini berprofesi sebagai penjahit menunjukkan dua huntap/huntara milik tetangganya yang tampak tertutup dan tidak dihuni.

"Mereka kembali ke desa asalnya untuk berdagang di warung," ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang, Patria Dwi Hastiadi, mengakui bahwa fenomena penyintas yang jarang menempati huntap/huntara mereka merupakan tantangan tersendiri dalam menjadikan kawasam Desa Sumber Mujur sebagai Laboratorium Bencana.

Menurut Patria, upaya relokasi penyintas bencana awan panas guguran (APG) Gunung Semeru tersebut menjadi pembelajaran yang luar biasa, karena menurutnya hingga saat ini belum ada daerah lain yang merelokasi warganya hingga berjumlah sekitar hampir 2.000 KK.

"Tidak semudah yang dibayangkan
Awalnya mendapat penolakan yang luar biasa. Setiap malam harus kami door to door sosialisasi ke pengungsian," ungkapnya.

"Akhirnya win-win solution, kesepakatan dengan seluruh warga bahwa tempat tinggal yang lama dan lahan pertanian yang lama tidak diambil alih. Sehingga sekarang banyak warga yang baru kembali ke rumah malam hari (untuk bekerja di tempat asal mereka)," terangnya.

Patria menjelaskan upaya relokasi bukanlah hanya memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain, karena mevncakup juga memindahkan budaya dan sumber mata pencaharian warga.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah warga tidak ingin kehilangan besaran nilai dari hasil profesi mereka sebelumnya, yang mayoritas merupakan penambang pasir.

"Di tempat yang lama mereka terlibat dalam penambangan pasir. Penghasilan kuli pasir sehari bisa 300-500 ribu, sehingga mengajka mereka pindah tidak semudah seperti dibayangkan," tuturnya.

Dia menjelaskan, kampung asal para pemyintas rata-rata berjarak antara 8 sampai 15 kilometer dari puncak Gunung Semeru juga menjadi alasan mereka enggan pindah, mengingat jarak Desa Sumber Mujur yang relatif lebih dekat.

"Meteka harus kita pahamkan bahwa kawasan rawan bencana bukan karena semata jaraknya tapi karena ada historis. menjadi jalur material aliran lahar."

Untuk itu, lanjut Patria, laboratorium bencana digunakan untuk belajar dari kekurangan yang ditemukan dan akan digunakan untuk perbaikan dalam upaya penanganan penyintas berikutnya.

Bencana membawa berkah

Plt. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lumajang, Amni Najmi, yang ditemui terpisah, turut menguatkan alasan bahwa masalah penghasilan merupakan faktor utama yang mendorong para penghuni huntap/huntara kurang betah.

Bahkan yang lebih mengejutkan, selain jarang di rumah karena mengutamakan pekeraan yang lebih menguntungkan, Amni mengungkapkan meskipun para penyintas adalah korban dari peristiwa erupsi tersebut, namun justru banyak dari mereka yang semakin diuntungkan karena bencana APG Semeru ini.

"Satu sisi mereka menunjukkan ekspresi "melas" tapi di saat yang lain mereka mengeluhkan lahan di sekitar Huntapnya yang kecil. Tidak cukup untuk parkir, truk saya ada empat," ujar Amni menirukan warga soal armada truk pengangkut hasil tambang pasir mereka.

"Saat masih di tempat pengusian, saya melihat setiap hari mereka mendapat bantuan dari NGO (Non Governmental Organization) yang banyak berupa uang. Aliran hampir datang setiap hari dari NGO yang berbeda-beda, sampai mereka bisa membeli sepeda motor baru," ungkapnya.

Patria melanjutkan, fenomena-febomena tersebut memang terjadi, sehingga pemerintah harus mengupayakan "kehidupan tumbuh" di tempat yang baru

Sesuai tujuan laboratoruum bencana untuk belajar dari kekuarangan yang akan di gunakan untuk perbaikan dalam penanganan berikutnya. Menurutnya para penyintas terbagi dalam golongan yang bersedia pindah tapi tetap bertahan dengan profesi yang lama. Kedua golongan yang bersedia pindah dan menjalankan profesi baru di lokasi huntap.

"Mereka dapat pelatihan buka bengkel, terima jahitan dan dan lain-lain. Warga juga bantuan bibit ternak kambing untuk program kandang komunal, sebagai mata pencarhaian yang baru," tuturnya.

"Ini adalah laboratorium dengan intervensi permindahan dan intervensi pelatihan-pelatihan. Banyak macamnya ada yang berhadil ada yang tidak, dan dari sini kita paham mana yang dapat dilakukan mana yang tidak. Harapannya dalam waktu tiga tahun mereka bisa pulih dari rasa trauma dan kehidupan ekonominya," tutupnya.

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.