Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Angka dan Realita Kemiskinan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Luthfi Baskoroadi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan turun di bawah 10 persen Maret 2018 yang diklaim sebagai dampak pembangunan infrastruktur, pemerataan pembangunan, serta program dana desa. Perlu penegasaan, benarkah rakyat miskin semakin menurun dan semakin sejahtera.

Secara statistik, kemiskinan memang menurun, namun belakangan ada fakta kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya telur yang terus meroket di berbagai daerah. Kenaikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari efek kenaikan harga BBM dan listrik yang cukup sering.

Berbagai sektor industri makanan dan minuman juga ikut terpukul karena pelemahan rupiah. Kenaikan harga akibat tidak optimalnya tata niaga sembako dari hulu ke hilir juga turut memperparah kondisi ekonomi masyarakat kelas bawah. Jika kondisi ekonomi kian sulit, mengapa data statistik berkata lain?

Menurut BPS, garis kemiskinan per Maret 2018 adalah 401.220 rupiah per bulan. Seseorang tidak lagi dianggap miskin bila total pengeluarannya per bulan di atas angka tersebut. Jika diturunkan lebih sederhana lagi, seseorang dengan pengeluaran di atas 13.777 rupiah per hari, tidak masuk golongan orang miskin.

Untuk mempermudah pemahaman angka tersebut, mari bayangkan situasi demikian. Seseorang pemulung yang hanya tinggal di sebuah gubuk kecil nyatanya mampu berpenghasilan 20 ribu per hari. Sebanyak 15 ribu untuk makan 2 kali. Total pengeluaran per hari pemulung tersebut telah di atas 13.777, yang hanya untuk makan. Ini belum terhitung pengeluaran lain yang tentu butuh biaya yang tidak sedikit.

Sekarang, mari gunakan perspektif masing-masing. Apakah pemulung tersebut sudah layak dianggap sebagai orang mampu hanya karena pengeluarannya di atas 13.777 per hari? Faktanya, BPS telah mengeluarkan angka tersebut. Pemerintah pun sudah merasa cukup gembira.

Orang-orang seperti kasus tadi tidak lagi dianggap miskin. Tidak lagi butuh bantuan pemerintah untuk menopang hidupnya. Sebab, mereka sudah dianggap sejahtera. Sungguh, sebuah ironi yang jauh dari realitas.

Bappenas menilai, garis kemiskinan BPS tersebut ditetapkan berdasarkan rumus pendekatan kebutuhan kalori manusia yang dipengaruhi harga acuan di setiap daerah. Di sisi lain, Bank Dunia menetapkan standar internasional garis kemiskinan sebesar 1,9 per dollar AS hari, atau setara dengan 27.170 per hari (kurs 14.300).

Artinya, garis kemiskinan yang ditetapkan internasional mencapai 2 kali dari hitunga n garis kemiskinan pemerintah. Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, jika menggunakan penghitungan Bank Dunia, kemiskinan Indonesia akan tembus 70-an juta jiwa. Ini sangat jauh melambung dari perhitungan pemerintah yang hanya 25,95 juta.

Jika garis kemiskinan Bank Dunia dianggap terlalu tinggi, pemerintah boleh saja tetap teguh berpendirian pada garis kemiskinan BPS. Namun, harus diingat ada juga istilah masyarakat "rentan miskin" yang selama ini kerap kali diabaikan. Mereka rentan miskin bila pengeluaran per kapitanya sedikit di atas garis kemiskinan BPS. Kelompok ini sangat rawan menjadi miskin kembali jika kondisi ekonomi tergoncang.

Dengan data BPS, pemerintah boleh saja mengeklaim orang miskin telah berhasil diturunkan beberapa tahun terakhir. Namun, pemerintah juga harus secara fair menjelaskan stagnasi jumlah orang rentan miskin yang mencapai 40 juta. Ini jauh lebih banyak dari masyarakat dalam kategori miskin.

Turun

Banyak indikator untuk mengukur kesejahteraan rakyat secara lebih spesifik. Sayangnya, indikator-indikator lain itu justru menunjukan sebaliknya. Misalnya, kenaikan tingkat ketimpangan di perdesaan menjadi 0,324 poin Maret 2018. Ini berarti naik 0,004 poin dari tahun lalu.

Padahal, sebagai lumbung terbesar kemiskinan, ketimpangan ekonomi perdesaan sudah sepatutnya ikut menurun andai memang kesejahteraan masyarakat semakin baik. Hal ini tentu menjadi sebuah paradox. Sebab saat yang sama pemerintah mengeklaim kemiskinan bisa turun. Salah satunya karena program dana desa yang tahun lalu mencapai 60 triliun rupiah.

Selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo, upah riil buruh tani juga menurun dari 39.382 rupiah menjadi 37.711. Ini mengindikasikan, upah buruh tani yang meksipun secara nominal naik, secara riil tidak mampu melawan gempuran inflasi akibat melambungnya harga kebutuhan pokok. Ini tentu menjadi sebuah ironi di tengah fakta, sekitar 60 persen rakyat miskin bekerja di sektor pertanian.

Indikator lain yang menjadi paradox, penurunan daya beli masyarakat beberapa tahun terakhir. Padahal, jika kemiskinan dikatakan berkurang, seharusnya di atas kertas pengeluaran masyarakat miskin bertambah. Terlepas dari segala paradoks yang muncul, perlu digarisbawahi bahwa selama 4 tahun pemerintahan Kabinet Kerja berjalan, angka kemiskinan turun 1,43 persen.

Ini berarti ada pengurangan dari 11,25 persen tahun 2014 menjadi 9,82 persen 2018. Dengan sisa waktu kurang lebih setahun, diharapkan pemerintah mampu menurunkan angka kemiskinan lebih banyak lagi. Munculnya angka penurunan kemiskinan dari BPS hendaknya disikapi secara bijak.

Pengentasan kemiskinan yang inklusif memang tidak mudah dan butuh waktu tidak sebentar. Semoga kemiskinan bisa diminimalkan dengan dibangunnya jalan tol atau memperkuat tol laut bersama pembangunan infrastruktur perdesaan melalui dana desa. Dengan demikian, produktivitas petani meningkat. Pembinaan dan pengawasan yang ketat menjadi kunci dalam penyaluran dan pemanfaatan dana desa agar menghasilkan kebijakan tepat sasaran.


Penulis Lulusan Universitas Brawijaya

Komentar

Komentar
()

Top