Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ancaman Nyata Sapi Australia

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Indonesia dan Australia telah resmi menandatangani perjanjian kerja sama perdagangan yang tertuang dalam Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) untuk meningkatkan investasi dan perdagangan kedua negara. Nantinya, setelah melalui ratifikasi oleh parlemen kedua negara, Australia akan menghapus bea masuk (BM) untuk 100 persen produk Indonesia yang selama ini diekspor ke Negeri Kanguru sebanyak 6.474 pos tarif. Sebaliknya, Indonesia me-nol-kan bea masuk bagi 94 persen produk Australia yang masuk ke Nusantara. Jumlahnya mencapai 10.813 pos tarif.

Di sisi perdagangan jasa dan investasi, universitas asal Australia dapat berinvestasi membuka kampus di Tanah Air dengan kepemilikan saham hingga 67 persen dari 40 persen. Ini tentu akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, mengingat banyak universitas Negeri Kanguru yang masuk jajaran kampus top 50 dunia. Indonesia juga diuntungkan dengan dibukanya akses bagi lebih banyak tenaga kerja profesional seperti perawat untuk bekerja di Australia. Jumlah orang Indonesia yang dapat mengambil liburan sembari kerja di Australia juga akan meningkat menjadi 6.000 orang setiap tahun.

Kendati demikian, sektor pertanian, peternakan, dan agribisnis Tanah Air tampaknya harus siap bekerja ekstra menghadapi banjirnya impor komoditas pangan asal Negeri Kanguru. Presiden Federasi Petani Nasional Australia (NFF), Fiona Simson, mengatakan bahwa kesepakatan IA-CEPA merupakan kemenangan besar petani dan peternak Australia. Ini akan membuka babak baru hubungan dagang pertanian RI-Australia yang selama ini sudah terjalin erat.

Sepanjang 2017, hampir setengah (49,5 persen) produk pangan dan serat Australia diekspor ke Indonesia, senilai 3,5 miliar dollar AS. Indonesia adalah importir nomor satu gandum Australia. Sedang Australia adalah pemasok nomor satu kebutuhan daging sapi Indonesia. Produk buah-buahan dan gula Australia juga sangat digemari di Indonesia.

Lebih dari itu, salah satu poin dalam perjanjian IA-CEPA adalah pembebasan BM impor sapi dari Australia ke Indonesia. Padahal, industri peternakan Indonesia belum siap menyaingi produk impor daging sapi dari Australia. Tak cuma itu, masuknya sapi Australia mau tak mau bakal menggerus devisa. Sebab, beban biaya mendatangkan sapi dari Australia menggunakan dollar Australia. Kondisi ini juga membuka peluang praktik berburu rente atau rent seeking.

Salah satu contoh suburnya praktik perburuan rente disebut-sebut terjadi pada kebijakan impor pangan. Akibatnya, petani nasional justru dimatikan oleh kebijakan pejabat negara yang gemar membuka keran impor. Hal ini dinilai bisa menyurutkan minat investasi asing. Mereka akan beranggapan, jika petani sendiri saja dimatikan oleh kebijakan pemerintah, apalagi pemodal asing.

Ekonom Faisal Basri sempat menuding bahwa segelintir pemburu rente meraup triliunan rupiah dari praktik impor gula sepanjang 2017-2018. Sebaliknya, jutaan petani dimatikan akibat membanjirnya impor pangan. Kondisi inilah yang akan memicu melebarnya ketimpangan kesejahteraan dan ketimpangan sosial. Selain itu, kemudahan sapi Australia masuk Indonesia bakal merusak upaya pemerintah dan peternak lokal mengembangkan sapi. Padahal, Indonesia sudah sejak lama ingin mengembangkan kemandirian sapi nasional.

Bahwa kemudian nantinya kebergantungan pada sapi Australia bakal merusak tatanan pasokan sapi nasional adalah sebuah kenyataan. Artinya, kemudahan sapi Australia masuk ke Indonesia adalah kesalahan berulang yang pernah dilakukan. Padahal, keledai sekarang sudah tak mau masuk ke dalam lubang yang sama.

Komentar

Komentar
()

Top