Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Amputasi Kewenangan DPR

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Terkait dengan mekanisme pemanggilan paksa dan penyanderaan yang diatur dalam Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) UU MD3, jelas inkonstitusional serta tidak memiliki landasan argumen yang tepat di dalam sebuah institusi perwakilan rakyat. DPR menilai pemanggilan paksa dan sandera merupakan implementasi konsep hak memanggil secara paksa seseorang yang dipandang perlu didengar keterangannya (hak subpoena) sebagaimana banyak dianut lembaga legislatif seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru.

Namun, upaya kewenangan tersebut tidak tepat terhadap lembaga perwakilan rakyat karena lebih cenderung terhadap proses penyelidikan di dalam ranah lembaga penegak hukum. Hal inilah yang menjadi pertimbangan hukum MK. Hak subpoena secara historis hanya untuk panggilan di depan persidangan pengadi lan berdasarkan konsep penegakan hukum. Kewenangan DPR dalam memanggil setiap orang, bukan dalam kapasitas rapat DPR, tapi dalam kaitannya dengan proses penyelidikan hak angket DPR.

Baca Juga :
Letusan Semeru

Selain kewenangan pemanggilan paksa dan penyanderaan yang dinyatakan inkonstitusional, kewenangan DPR dalam meminta bantuan kepolisian untuk memanggil paksa setiap orang dan melakukan penyanderaan, juga memiliki persoalan konstitusionalitas. Sebab kewenangan DPR tersebut dapat menimbulkan tekanan dan rasa takut terhadap setiap orang serta berpotensi menjaga jarak antara wakil rakyat dan konstituennya. Padahal, sebagai wakil rakyat, DPR semestinya mendekatkan rakyatnya agar dapat mengatasi permasalahan bangsa, bukan justru menakuti rakyat dengan kewenangan yang terkesan mengancam.

Dalam Pasal 122 huruf I UU MD3 telah memberi kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum d a n / a t a u langkah lainnya terhadap orang-perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dinilai merendahkan martabat DPR dan anggota DPR. Hal ini menjadi catatan buram, mengingat kedudukan MKD sebagai lembaga kelengkapan internal DPR yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat DPR, bukan secara eksternal sebagai lembaga penegakan hukum yang melaksanakan fungsi yudisial.

Oleh karenanya, penambahan tugas MKD hingga dapat mengambil langkah hukum bagi pihak di luar anggota DPR dan pihak di luar sistem pendukung DPR yang dinilai telah merendahkan martabat DPR, tentu saja tidak tepat dengan fungsi pokok MKD sebagai penjaga dan penegak etik anggota DPR.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top