Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jumat, 21 Mar 2025, 20:16 WIB

Air dan Pertanian di Tengah Krisis Iklim

Ilustrasi irigasi di kawasan Gunung Guntur dan Kamojang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Foto: (ANTARA/Feri Purnama)

JAKARTA - Air adalah sumber kehidupan yang esensial bagi manusia dan lingkungan. Ia tidak hanya mengalir di sungai atau menggenang di sawah, tetapi juga menjadi elemen vital yang menopang masyarakat, budaya, dan peradaban.

Di sektor pertanian, air berperan sebagai fondasi yang menopang ketahanan pangan. Secara global, sekitar 70 persen air yang digunakan manusia dialokasikan untuk pertanian.
?
Di Indonesia, sebagai negara agraris dengan hampir 39 juta orang yang bergantung pada sektor pertanian, air menjadi penopang utama pangan bangsa. Ketersediaan dan pengelolaan air yang baik sangat penting untuk memastikan produksi pertanian yang optimal dan berkelanjutan.

Tantangan saat ini, seperti krisis iklim yang semakin nyata mengancam hubungan antara air dan pertanian. Perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir menjadi ancaman serius bagi produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional.
?
Hari Air Sedunia yang diperingati setiap 22 Maret seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua. Sampai kapan kita akan terus mengabaikan pentingnya air yang selama ini kita anggap tersedia tanpa batas? Kesadaran dan tindakan nyata dalam menjaga dan mengelola sumber daya air secara bijak menjadi kunci untuk menjamin keberlanjutan kehidupan, budaya, dan peradaban kita di masa depan.?

Pemanfaatan air

Fakta-fakta menunjukkan bahwa krisis air bukan sekadar prediksi, melainkan kenyataan yang sudah menggerus sendi-sendi pertanian. Meskipun Indonesia dikaruniai sekitar 6 persen dari total cadangan air tawar dunia, distribusi air ini sangat timpang dan tidak merata.

Di sebagian wilayah, seperti Kalimantan dan Sumatera, air melimpah ruah, tetapi di Nusa Tenggara, sebagian Jawa, dan sebagian Sulawesi, petani harus berjibaku dengan kekeringan yang kian panjang. Ketimpangan ini diperparah oleh anomali iklim yang semakin sulit diprediksi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa dalam satu dekade terakhir, intensitas hujan ekstrem di Indonesia meningkat hingga 20 persen, sementara kemarau melanda lebih lama dari pola musiman normal. Akibatnya, ribuan hektare lahan pertanian gagal panen karena kebanjiran saat masa tanam, atau sebaliknya, kekeringan saat masa berbuah.

Fenomena El Nino 2023 menjadi bukti konkret, puluhan ribu petani di Jawa dan Nusa Tenggara kehilangan hasil panen akibat kemarau panjang yang memaksa mereka berhenti menanam.

Ironisnya, tradisi pertanian kita  juga ikut memperparah krisis air yang sedang mengancam. Cara bertani yang rakus air dan tidak ramah lingkungan, seperti sistem irigasi genangan, penggunaan pupuk kimia berlebihan, serta alih fungsi lahan, telah mempercepat degradasi kualitas air dan tanah.

Padahal, menurut Food and Agriculture Organization (FAO), setidaknya 50 persen air irigasi di Indonesia hilang begitu saja akibat infrastruktur rusak dan tata kelola air yang amburadul. Jika pola ini terus berlangsung, World Bank memperkirakan Indonesia bisa kehilangan hingga 30 persen produksi pangannya pada 2045  karena kombinasi kelangkaan air, kerusakan tanah, dan perubahan iklim.

Padahal, 2045 adalah tahun di mana bangsa kita memproyeksikan Indonesia Emas sebagai negara maju berketahanan pangan dan energi.


Prakarsa masyarakat

Di beberapa daerah, secercah harapan muncul dari inovasi dan prakarsa masyarakat. Di Kabupaten Sleman, misalnya, petani bawang merah berhasil mengurangi penggunaan air hingga 40 persen melalui irigasi presisi berbasis sensor kelembaban tanah. Teknologi sederhana ini terbukti mampu menjaga produksi tetap stabil meskipun debit air turun.

Hanya saja, keberhasilan ini masih bersifat sporadis, belum menjadi gerakan nasional. Pemerintah semestinya mendorong adopsi teknologi irigasi hemat air, baik melalui subsidi alat, pelatihan petani, maupun regulasi yang mendukung.

Selain teknologi, penting pula memulihkan ekosistem air yang selama ini diabaikan. Restorasi daerah aliran sungai (DAS), pembangunan embung, danau tadah hujan, dan sistem penampungan air tradisional, seperti sepa di Nusa Tenggara atau bendung di Jawa, merupakan langkah konkret untuk mengelola air secara alami.

Bali, misalnya, dengan sistem Subak yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia, telah membuktikan bahwa kearifan lokal dapat mengelola air secara adil dan efisien. Pertanyaan besarnya, mengapa sistem seperti Subak tidak direplikasi secara lebih luas di Indonesia?

Lebih jauh, praktik pertanian regeneratif, seperti agroekologi, tumpang sari, dan penggunaan pupuk organik, juga harus menjadi arus utama, bukan hanya proyek percontohan. Varietas padi tahan kering, seperti Inpago 12 dari BB Padi Kementan, perlu disebarluaskan ke wilayah rawan kekeringan agar ketergantungan petani pada air berkurang.

Pola tanam bergilir yang menjaga kesuburan tanah dan menghemat air pun mesti dikampanyekan secara nasional. Namun, semua itu tidak cukup tanpa kolaborasi lintas sektor. Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki visi bersama dalam tata kelola air. Revisi Undang-Undang Sumber Daya Air No 17/2019 perlu memastikan bahwa akses air untuk pertanian rakyat menjadi prioritas utama, bukan justru dikuasai oleh korporasi besar atau dilepas ke pasar.

Di tingkat lokal, organisasi petani harus diberdayakan sebagai mitra, bukan sekadar penerima instruksi. Pengalaman organisasi, seperti Perhimpunan Petani Pemuda Indonesia (PPPI), yang berhasil meningkatkan produktivitas petani Lombok hingga 25 persen melalui teknologi hemat air membuktikan bahwa petani punya kapasitas menjadi pelopor perubahan.


Tindakan nyata

Dunia usaha dan lembaga internasional juga tidak boleh berpangku tangan. Skema pembiayaan hijau (green financing) untuk infrastruktur air, seperti embung dan sistem panen air hujan, harus diperluas. Kerja sama perusahaan susu dengan petani kopi di Cianjur, yang membangun sistem panen air hujan untuk menyelamatkan 500 hektare lahan dari kekeringan, menjadi model konkret kemitraan yang bisa direplikasi.

Jika korporasi global bisa memikirkan air sebagai investasi masa depan, mengapa negara  masih menganggap air sebagai masalah pinggiran?

Di tengah ancaman krisis air yang nyata, Hari Air Sedunia bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah alarm keras bagi bangsa ini untuk bangkit. Setiap tetes air yang terbuang, setiap hektare sawah yang gagal panen karena kekeringan, adalah peringatan bahwa masa depan kita sedang dipertaruhkan.

Jika gagal mengelola air hari ini, bukan hanya ketahanan pangan yang runtuh, tetapi juga stabilitas sosial dan ekonomi bangsa.

Sudah waktunya Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam mengelola air. Sudah waktunya air tidak lagi menjadi ladang perebutan antarsektor, tetapi menjadi sumber kesejahteraan bersama.

Sudah saatnya petani kita, yang menghidupi negeri ini, tidak lagi menjadi korban krisis air, melainkan bagian dari solusi.

Kelak, anak cucu kita akan bertanya, "Apa yang dilakukan generasi ini ketika air mulai menghilang?" Biarlah mereka mengenang kita sebagai generasi yang bukan hanya memperingati air, tetapi memperjuangkannya. Jika kita bisa menjaga air hari ini, kita menjaga kehidupan esok hari. Bukan hanya untuk kita, tetapi untuk mereka, generasi masa depan. Ant

*) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan di Kementerian Pertanian

Redaktur: -

Penulis: Opik

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.