Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ahli Sebut Terapi Berteriak Tak Memiliki Manfaat Bagi Kesehatan Mental

Foto : Freepik/Cookie_studio

Ilustrasi orang berteriak untuk menghi;angkan penat.

A   A   A   Pengaturan Font

Pernahkah Anda sengaja pergi ke sebuah ruangan kosong, lingkungan yang sepi, atau bahkan puncak gunung hanya untuk berteriak demi mengurangi rasa penat? Berteriak memang tampak seperti cara terkenal untuk membantu melepaskan ketegangan. Namun, para ahli mengatakan hanya ada sedikit bukti pendekatan tersebut menawarkan manfaat jangka panjang bagi kesehatan mental seseorang.

Primal Scream Therapy (PST) atau terapi teriakan primal pertama kali diciptakan oleh psikolog Arthur Janov pada akhir 1960-an. Terapi ini didasarkan pada gagasan bahwa trauma masa kecil merupakan akar dari neurosis, dan berteriak dapat membantu melepaskan dan mengatasi rasa sakit.

PST menjadi semakin populer pada tahun 1970-an setelah diperkenalkan dalam buku yang mendapat predikat best seller, hingga sejumlah pasien terkenal, termasuk musisi ternama John Lennon beserta sang istri, Yoko Ono.

Namun, para ahli modern mengatakan PST hanya memiliki sedikit bukti untuk mendukung penggunaannya. Salah satunya, Sascha Frühholz dari departemen psikologi di University of Zurich, Swiss.

Frühholz yang penelitiannya mencakup mekanisme kognitif dan saraf dari produksi suara dan pemrosesan emosional, menjelaskan terapi dengan berteriak seperti PST tidak memiliki efek positif dalam dalam pengobatan gangguan mental dan psikologis. Ia juga menuturkan bahwa PST bersandar pada konsep trauma masa kecil yang tak sepenuhnya benar.

"PST juga bersandar pada, sebagian salah, asumsi bahwa peristiwa kehidupan awal yang traumatis disimpan sebagai kompleks mental dan tubuh, seperti penjara, yang hanya dapat diselesaikan dengan 'penghancuran' saat berteriak," jelas Frühholz, seperti dikutip dari The Guardian.

Frühholz juga menyoroti penggunaan teriakan kemarahan dalam terapi tersebut justru bisa menjadi kontraproduktif. Menurutnya, teriakan positif yang berangkat dari kegembiraan jauh lebih relevan bagi manusia, dan mereka mendorong ikatan sosial sebagai efek positif.

"Kita tahu bahwa ekspresi kemarahan yang konsisten sebagai metode terapi tidak memiliki atau bahkan efek negatif pada hasil terapi," katanya.

Sementara dosen senior psikologi di Birmingham City University, Inggris, Rebecca Semmens-Wheeler, juga meragukan adanya manfaat jangka panjang dari kebiasaan berteriak untuk kesehatan mental, meskipun dia mengatakan hanya sedikit penelitian yang telah dilakukan. Di antara kekhawatirannya, Semmens-Wheeler menilai berteriak atau mendengar orang lain berteriak juga dapat mengaktifkan mekanisme melawan atau lari, dan meningkatkan kadar adrenalin dan kortisol.

"[Itu] kebalikan dari apa yang Anda lakukan dengan hal-hal seperti meditasi atau yoga, yang biasanya mengaktifkan sistem saraf parasimpatis yang dan membantu kita untuk membuat keputusan yang lebih baik," katanya.

Ia menilai kebiasaan berteriak mungkin hanya memberikan rasa tenang dalam durasi yang singkat. Sedangkan kebiasaan berteriak untuk menghilangkan penat bisa menghalangi seseorang melakukan tindakan atau solusi lain yang bisa lebih membantu dalam mengatasi emosi.

"Mungkin Anda akan merasa baik selama beberapa menit. Tapi menurut saya itu tidak berpotensi sebagai pengobatan yang bertahan lama dan berkelanjutan. Saya pikir ini lebih merupakan hal baru.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top