Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

90 Tahun Sumpah Pemuda

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Tanggal 28 Oktober 1928, saat anakanak muda bersatu dengan semangat nasionalisme dan patriotisme tinggi. Mereka berjuang di berbagai wilayah demi mengangkat harkat dan martabat dengan mendeklarasikan diri sebagai Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia. Itulah Sumpah Pemuda.

Pergerakan ini mematahkan politik devide et impera kolonial, rasa kesukuan, dan kedaerahan yang menjadi sekat-sekat pemisah. Anakanak muda dari berbagai daerah memilih bergandengan tangan demi terwujudnya citacita kemerdekaan Indonesia. Bagaimana anak muda sekarang memandang bangsa dan negaranya?

Sekarang, anak muda yang disebut kaum milenial yang berbicara tentang bangsa dan negara dianggap sebelah mata. Begitu juga bila berbicara tentang politik. Anak muda memilih apatis. Padahal segala aspek kehidupan manusia, bangsa, dan negara ini terkait politik.

Berthold Brecht mengatakan, "Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, tergantung pada keputusan politik."

Survei terbaru, hanya ada 22 persen kaum milenial mengikuti politik. Sisanya, lebih banyak mengikuti seputar olah raga, musik, film, lifestyle, sosmed, dan teknologi informasi. Padahal kurang lebih 40 persen pemilih pada Pemilu tahun 2019 nanti terdiri dari kaum milenial ini. Kebanyakan masih memilih menjadi objek politik semata daripada menjadi subjek.

Anak muda sekarang lebih memilih "berjuang" di media sosial daripada terjun langsung politik praktis. Memang dengan perkembangan zaman, teknologi, dan globalisasi, media sosial menjadi bagian tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Pertukaran informasi sangat cepat. Begitu juga perselisihan, bahkan letupan- letupan konflik sangat cepat menjalar di media sosial.

Dulu, anak muda menyatukan perbedaan demi Indonesia. Sekarang justru anak muda memperdebatkan perbedaan, suku, agama, bahkan ras. Dulu, negara asing yang memecahbelahkan. Sekarang, diri sendiri yang memecah-belah saudara setanah air.

Diimplementasi

Nilai-nilai Sumpah Pemuda sebaiknya tidak hanya sebagai jargon, dengan meng-update status di media sosial, atau mengutip kata-kata mutiara. Dia harus diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tidak cukup hanya dengan berbicara, berdebat, atau protes, tapi berikanlah aksi nyata.

Minimal, tidak apatis terhadap politik. Bila perlu terjun. Presiden Turki, Erdogan, bilang "Jika politik tidak diisi orang baik, akan diisi orang jahat." Kebanyakan anak muda Indonesia memandang politik itu jahat, hanya mementingkan individu atau kelompoknya. Berarti bisa dikatakan, politik telah berisi orang-orang jahat.

Lalu, apa kita hanya bisa melihat, menyesali, dan memprotes di media sosial? Harus diakui, ada yang salah pada bangsa dan negara ini sampai anak muda begitu apatis terhadap politik. Wajar saja sering melihat kinerja eksekutif, legislatif maupun yudikatif mengecewakan. Di setiap media pasti ada saja oknum yang tertangkap karena korupsi.

Banyak drama yang dipertontonkan daripada kinerja. Rakyat merasa tidak terkena langsung manfaat positif tanah air. Ada dan tanpa politisi dianggap sama saja. Padahal itu tidak semuanya benar. Tidak semua politisi seperti itu. Masih ada segelintir yang memang benar-benar negarawan. Sebaiknya anak muda yang memiliki akal budi dan rasionalitas melihatnya tidak hanya pada satu sisi.

Mereka harus lebih fair dalam mengamati politisi, tidak semua politisi hanya mementingkan kekuasaan. Memang pada dasarnya, politik itu sendiri terkait dengan kekuasaan. Namun tidak hanya kekuasaan semata. Kekuasaan untuk kepentingan banyak orang. Ketika berada di dalam sistem pemerintahan, kepentingan banyak orang dapat diperjuangkan.

Politik memang seharusnya memberi manfaat bagi banyak orang. Tetapi, kadang politisi berhenti berpikir sampai di kekuasaannya saja. Mereka lupa bahwa ada nilai-nilai yang lebih besar ada di balik kekuasaan. Di balik semua itu, harus disadari kondisi setiap anak muda tidaklah sama.

Kadang ada candaan "Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih sulit, mau memikirkan Negara." Kondisi ekonomi masyarakat memang menjadi belum bagus. Kalau menggunakan perspektif Lipset, semakin tinggi tingkat kemakmuran ekonomi sebuah negara, semakin besar peluang mewujudkan demokrasi.

Dengan kata lain, modernisasi sosial ekonomi akan menghasilkan demokrasi politik. Penjelasan umum atas korelasi dua variabel ini menyebutkan, kemakmuran ekonomi mendorong peningkatan jumlah penduduk berpendidikan, menumbuhkan kelas menengah yang sadar akan hak-hak politiknya sebagai warga Negara. Dia juga menumbuhkan kelompok borjuasi dan kelas menengah yang menginginkan kepentingan ekonomi mereka terjamin dalam masyarakat.

Caranya dengan penegakan hukum yang baik dan kompetisi ekonomi jujur. Kemakmuran ekonomi juga akan menurunkan radikalisme dan menumbuhkan toleransi, sehingga demokrasi lebih mudah dilaksanakan. Kalau memang menjadi politisi bukanlah pilihan, paling tidak mengerti dan pahamilah prosesnya.

Baca Juga :
Piutang BLBI

Mari buat agar tidak ada sedikit celah bagi "banditbandit" politik menjalankan proses pembodohan. Menolak untuk "golput" bisa menjadi budaya yang baik dalam demokratisasi. Dukung anak muda yang mau berkorban mengabdikan diri sebagai politisi.

Dibutuhkan jiwa muda yang idealis, berdedikasi, intelek, serta berniat baik untuk mendobrak paradigma politik itu jahat, bobrok dan sebagainya. Mereka tidak mungkin seorang diri. Anak-anak muda harus bersatu, bergandengan tangan, bergotong royong agar cita-cita bersama dapat terwujud dan nilai-nilai Sumpah Pemuda tetap abadi.

Andhika Jj Tambunan, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI

Komentar

Komentar
()

Top