Rupiah Kembali Terperosok ke Titik Terendah, Pertanda Ekonomi Tidak Pernah Pulih Selama 27 Tahun
- obligasi negara
- Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
- Utang luar negeri
- Hutang Negara
- dollar AS
- Krisis Moneter
- Kurs Rupiah
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus melemah mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998. Hal itu mengindikasikan selama 27 tahun setelah krisis moneter, perekonomian Indonesia tidak pernah pulih.

Ket. Teller di sebuah money changer menghitung uang rupiah yang ditukar dengan valuta asing. Kurs rupiah terus terperosok ke titik terendah sama saat krisis moneter 1998, 27 tahun lalu.
Doc: Antara
Bahkan, kondisi saat ini bisa dikatakan lebih parah dari tahun 1998, sebab kala itu kurs rupiah berada di level 16.650 rupiah per dollar AS, tetapi posisi utang Indonesia saat itu tercatat 70 miliar dollar AS atau sekitar 1.165,5 triliun rupiah.
Dengan kurs yang kurang lebih sama saat ini, utang luar negeri Indonesia pada Januari 2025 tercatat sebesar 427,5 miliar dollar AS atau sekitar 7.117,88 triliun rupiah. Jumlah tersebut sudah melonjak tujuh kali lipat. Dengan kurs yang sangat fluktuatif, kurs rupiah saat ini bisa jadi belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Bisa saja semakin melemah.
Menanggapi kondisi tersebut, pengamat hukum dan pembangunan serta kebijakan publik, Hardjuno Wiwoho yang diminta pendapatnya mengatakan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) saja dikabarkan akan memiliki total aset 10.000 triliun rupiah.
Dengan total utang sudah hampir mendekati total aset dari semua BUMN terbaik yang bergabung di Danantara itu menandakan ruang fiskal Pemerintah untuk membayar utang semakin terbatas. Padahal, utang harus tetap dibayar dan tidak mungkin terus dibiarkan menumpuk.
“Kalau kita tidak bisa bayar, artinya memang tidak mampu. Maka harus ada solusi, ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan seperti sekarang. Kalau semua menteri sudah berganti, maka siapa yang bertanggungjawab?, kata Hardjuno dengan nada tanya.
Hardjuno mempertanyakan akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan yang selalu berganti, tetapi mewariskan beban yang sama dari tahun ke tahun.
Anda mungkin tertarik:
Masalah utang jelas Hardjuno sudah jelas akar masalahnya berawal dari dari Obligasi Rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saat krisis moneter yang terus diabaikan.
“Jadi harus ada jalan keluar dari akar masalahnya yaitu obligasi rekap tadi,” katanya.
Di sisi lain, Hardjuno mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memangkas anggaran negara. Keberanian Prabowo itu belum pernah terjadi atau yang pertama dalam sejarah Indonesia.
“Langkah itu sudah bagus, tinggal bagaimana langkah selanjutnya menyelesaikan akar masalah utang tadi,” kata Hardjuno.
Dia menyerukan pentingnya dialog nasional soal utang, fiskal, dan keberlanjutan ekonomi bangsa. “Kita harus mulai bicara jujur dan transparan. Ini soal masa depan negara. Harus ada solusi yang menyeluruh dan realistis,” pungkasnya.
Cegah “Capital Outflow”
Dalam kesemptan terpisah, Guru Besar Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan, nilai tukar rupiah dan IHSG sedang menghadapi tekanan seiring dengan ketidakpastian ekonomi dan kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS).
“Ini menyebabkan dollar AS menguat terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah. Akibatnya, minat beli di pasar modal Indonesia pun berkurang. Untuk jangka panjang, pemerintah harus fokus menjaga arus masuk dollar dan mencegah capital outflow. Ini penting untuk memberikan kepastian usaha,” kata Imron.
Menurut dia, kunci dari itu semua adalah menjaga kepastian hukum, stabilitas politik, dan kondisi ekonomi yang kondusif agar investor tetap merasa aman berinvestasi. Pemerintah juga perlu memastikan transaksi perdagangan internasional lancar untuk menjaga ketersediaan dollar di dalam negeri agar rupiah kembali menguat.