4 Langkah Percepat Pemulihan dari ‘Learning Loss’ Pascapandemi
- Pendidikan
- Siswa
- Sekolah Tatap Muka
- Learning Loss
- pascapandemi Covid-19
George Adam Sukoco, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI); Anisah H. Zulfa, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI); Rasita Ekawati Purba, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), dan Senza Arsendy, The University of Melbourne

Ket. Guru yang aktif membantu siswa pulih lebih cepat dari ‘learning loss’.
Doc: The Conversation/Shutterstock/Arief Akbar
Sejak pandemi kemarin, kita sering mendengar istilah learning loss atau menurunnya pengetahuan dan keterampilan siswa secara akademis. Artikel kami sebelumnya, telah membahas potensi pemulihan dari learning loss tersebut.
Menariknya, beberapa sekolah serta siswa bisa pulih dari learning loss lebih cepat dibandingkan yang lain.
Apa saja faktor-faktor yang mempercepat pemulihan tersebut?
1. Penyesuaian kurikulum
Literatur menunjukkan bahwa kurikulum di negara berkembang cenderung memiliki target pembelajaran yang ambisius. Indonesia, contohnya, memiliki target kurikulum yang tidak saja banyak tetapi juga cenderung lebih tinggi dibandingkan target-target internasional.
Di Kurikulum 2013, menghitung penjumlahan bilangan hingga 99 merupakan kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa Kelas 1. Namun, menurut Global Proficiency Framework Sustainable Development Goals(GPF SDG), kemampuan ini seharusnya dikuasai oleh siswa Kelas 2. GPF SDG menggambarkan tingkat kemahiran minimum membaca dan matematika di tingkat global yang diharapkan dikuasai siswa kelas satu sampai kelas sembilan.
Anda mungkin tertarik:
Contoh lainnya, menentukan hubungan antarunit pengukuran terstandarisasi (misalnya, kg, g, m, dan cm) adalah kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa Kelas 3 dalam Kurikulum 2013, tetapi ini diharapkan dikuasai oleh siswa Kelas 6 di dalam GPF SDG.
Studi kami menunjukkan bahwa siswa yang gurunya melakukan penyesuaian kurikulum selama masa pandemi mengalami pemulihan hasil belajar 4 bulan lebih cepat dibandingkan dengan siswa yang gurunya tidak melakukan penyesuaian kurikulum.
Penyesuaian kurikulum yang dilakukan guru umumnya berfokus pada kemampuan dasar literasi dan numerasi. Kemampuan dasar ini adalah prasyarat siswa untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang lebih kompleks di jenjang berikutnya. Misalnya, untuk kemampuan literasi, guru fokus mengajarkan anak tentang bunyi huruf, pengenalan huruf, suku kata, dan kata sebagai modal awal siswa untuk bisa lancar membaca.
Adaptasi pembelajaran ini dilakukan oleh guru baik secara mandiri atau mengacu pada kurikulum darurat, yaitu Kurikulum 2013 yang disederhanakan, yang sudah disediakan oleh pemerintah.
Idealnya, target kurikulum memang ditentukan berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan kognitif dan kemampuan belajar siswa, sehingga siswa bisa mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
2. Melakukan adaptasi pembelajaran
Selain penyesuaian kurikulum, pembelajaran berdiferensiasi juga terbukti mempercepat pemulihan pembelajaran yang setara dengan 2-3 bulan.
Pembelajaran berdiferensiasi memberikan kesempatan bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa yang berbeda-beda berdasarkan asesmen diagnostik. Asesmen diagnostik adalah asesmen awal yang dilakukan guru untuk mengidentifikasi kompetensi, kekuatan dan kelemahan peserta didik.
Sebagai contoh, di salah satu sekolah yang kami observasi, guru mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan dasar literasinya. Guru menggunakan kartu gambar dan huruf (gambar apel dan huruf A) untuk anak-anak yang belum mengenal huruf. Sementara untuk anak-anak yang sudah mengenal kata, guru memberikan mereka potongan kata agar anak bisa menyusun kalimat. Terakhir, untuk anak-anak yang sudah mampu membaca, guru menggunakan buku cerita bergambar dan meminta anak untuk menjawab pertanyaan dari cerita tersebut.
Pembelajaran berdiferensiasi bukan untuk membedakan siswa, namun memberikan peluang bagi guru untuk menyesuaikan instruksi pembelajaran, tugas, serta media belajar. Pendekatan ini memungkinkan siswa mendapatkan kesempatan belajar yang sama untuk terus berkembang sesuai potensinya.
3. Partisipasi aktif guru
Kami juga menemukan bahwa guru yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengembangan kompetensi selama pandemi memiliki siswa dengan pemulihan pembelajaran yang lebih cepat (setara 3 bulan) dibandingkan dengan guru yang tidak mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi.
Sayangnya, studi kami yang lain menemukan bahwa partisipasi guru di kegiatan Kelompok Kerja Guru (KKG), yaitu kelompok kegiatan profesional bagi guru SD/MI yang masih berada dalam satu gugus/kecamatan, cenderung menurun selama pandemi akibat pembatasan wilayah dan penutupan sekolah.
Oleh sebab itu, penting bagi pemangku kepentingan, baik di daerah maupun nasional, untuk bisa memastikan semua guru, khususnya yang selama ini memiliki kesempatan lebih terbatas, mengembangkan kapasitas profesionalnya baik secara tatap muka di KKG maupun kegiatan pelatihan daring.
4. Dukungan pemangku kepentingan
Selain faktor guru, kepemimpinan kepala sekolah serta dukungan pemerintah menjadi faktor kunci pemulihan pembelajaran.
Kepala sekolah yang aktif melakukan pendampingan secara berkala kepada guru cenderung memiliki siswa dengan pemulihan pembelajaran yang lebih cepat setara dengan 5 bulan pembelajaran. Demikian juga kepala sekolah yang selama pandemi memiliki program khusus untuk memulihkan proses pembelajaran, pemulihan pembelajarannya menjadi 3 bulan lebih cepat.
Di sisi lain, bantuan dari pemerintah baik secara materiil maupun dukungan teknis untuk menunjang pembelajaran jarak jauh penting dalam mendorong kepala sekolah dan guru menjalankan tugasnya di sekolah. Sekolah yang di masa pandemi mendapatkan bantuan pemerintah dalam bentuk kuota internet, komputer, atau insentif uang untuk melakukan pembelajaran luring di titik kumpul, memiliki siswa dengan pemulihan pembelajaran yang lebih cepat 3 bulan dibandingkan yang tidak.
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, contohnya, guru-guru di salah satu SD mengaku mendapat bantuan berupa kuota internet dan insentif transportasi untuk melakukan pembelajaran luring di titik kumpul. Bantuan ini memudahkan mereka dalam melaksanakan kelas daring maupun tatap muka. Selain itu, bantuan juga membantu siswa mengakses materi pelajaran dan sumber bacaan tambahan dengan lebih mudah dan belajar secara mandiri.
Namun, guru SD lain di daerah yang sama, mengatakan tak menerima bantuan kuota sama sekali dan hanya terhenti pada tahap registrasi nomor telepon. Hal ini sangat menyulitkan mereka dalam mendistribusikan materi, sehingga banyak siswa kehilangan akses pembelajaran selama pandemi.
Temuan studi kami ini menegaskan bahwa percepatan pemulihan dari learning loss bukanlah hal yang mustahil. Namun, percepatan ini membutuhkan penyesuaian serta perubahan sistem yang melibatkan guru, kepala sekolah, serta pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan belajar yang optimal bagi siswa.
George Adam Sukoco, Monitoring and Evaluation Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI); Anisah H. Zulfa, Junior Researcher, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI); Rasita Ekawati Purba, Monitoring, Evaluation, Research and Learning Manager (MERL Manager), Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), dan Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.