Utamakan ASI Eksklusif
Foto: KORAN JAKARTA/ONESTanggal 1 sampai 7 Agustus diperingati sebagai "World Breastfeeding Week" atau Pekan Air Susu Ibu (ASI) Sedunia. Peringatan ini menjadi momentum membangun kesadaran pentingnya pemberian ASI bagi proses tumbuh- kembang anak.
Tahun ini, Pekan ASI Sedunia mengusung slogan "Empowerement Parents, Enable Breasfeeding". Tema ini menjadi sangat relevan mengingat di negara miskin dan berkembang, pemberian ASI kurang optimal lantaran lemahnya kondisi ekonomi orang tua.
Di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut tidak kurang dari 4,8 juta bayi lahir setiap tahun. Ironisnya, angka ibu menyusui masih rendah.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2017 menyebutkan, angka inisiasi menyusui dini (IMD) hanya 57,08 persen, jauh dari target Kemenkes 90 persen. Sedangkan persentase pemberian ASI eksklusif bayi berusia 0-6 bulan jumlahnya hanya 35,07 persen.
Artinya, terdapat 65 persen bayi berusia 0-6 bulan tidak mendapat ASI eksklusif, targetnya 50 persen kelahiran. Kondisi ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya pengetahuan dan kesadaran masyarakat pentingnya pemberian ASI eksklusif bayi masih rendah. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui kandungan gizi dan nutrisi dalam ASI serta manfaatnya bagi tumbuh-kembang anak.
Sebaliknya, sebagian besar masyarakat justru kerap percaya pada mitos, persediaan ASI tidak akan mencukupi kebutuhan anak. Lebih fatal lagi, sebagian masyarakat kadung percaya susu formula dapat menggantikan ASI. Bahkan ada yang percaya susu formula memiliki kandungan lebih baik dari ASI.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan berpendidikan rendah dan ekonomi lemah. Riset Kemenkes menunjukkan, hanya 45 persen keluaga berpendidikan tinggi dan berpenghasilan menengah atas memberi ASI eksklusif. Bahkan, ada fakta lain hanya 57,3 persen tenaga kesehatan yang memberi ASI eksklusif.
Persoalan lain komitmen ibu dan lingkungan untuk memberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama bayi masih rendah karena faktor ekonomi. Banyak perempuan harus kembali bekerja di sektor formal pascamelahirkan. Di satu sisi, banyak perempuan sadar dan komitmen memberi, namun sering berbenturan pada realita hidup.
Banyak perempuan memilih tetap bekerja dan memberi susu formula pada anak. Kemudian, promosi susu formula yang gencar. Apalagi melibatkan media dan pihak-pihak yang terlibat langsung penanganan ibu melahirkan. Sudah menjadi rahasia umum, banyak rumah sakit, puskemas, klinik bersalin, dokter, dan bidan yang membantu persalinan menjadi semacam "agen" produk susu formula.
Alih-alih mendorong ibu untuk memberi ASI eksklusif, para tenaga medis itu justru menawa rkan susu formula. Belum lagi implementasi regulasi menyusui yang lemah. Pemerintah sebenarnya telah membuat regulasi tentang menyusui, antara lain UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terutama Pasal 128, 129, 200 dan 201.
Aktivitas menyusui juga diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama Pasal 83. Selain itu, terdapat juga Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Secara garis besar, peraturan tersebut mengakui, menyusui merupakan hak ibu dan anak. Maka, segala tindakan menghalang-halangi pemberian ASI sebagai perbuatan melawan hukum.
Sayang, implementasinya di lapangan cenderung lemah. Dalam banyak hal, pemerintah terkesan abai menjamin hukum bagi ibu menyusui. Hal ini tampak, misalnya, dalam konteks izin cuti melahirkan, sesuai dengan UU Ketenagakerajaan selama tiga bulan sebelum dan sesudah melahirkan.
Praktiknya, banyak perusahaan, termasuk instansi pemerintah acapkali melanggar. Bahkan, banyak kasus karyawan diberhentikan sepihak oleh perusahaan karena hamil atau melahirkan.
Edukasi
Membangun generasi bangsa berkualitas sulit bila tanpa memberi perhatian lebih pada aspek tumbuh kembang anak. Dalam konteks inilah, pemberian ASI eksklusif bayi 0-6 bulan menjadi sangat vital. Berbagai hasil riset ilmiah menunjukkan, ASI memiliki kandungan gizi dan nutrisi penting bagi bayi dan tidak bisa digantikan apa pun.
ASI yang keluar pertama kali mengandung colostrums yang penting untuk membentuk sistem imunitas bayi, sehingga tidak mudah terserang infeksi atau penyakit. Tidak hanya itu, secara psikologis, pemberian ASI eksklusif dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun juga memperkuat ikatan emosional (bonding) anak dan ibu.
Riset menunjukkan, bayi yang mendapat ASI hingga dua tahun tumbuh lebih stabil secara emosional dan memiliki kecerdasan lebih tinggi dibanding bayi tidak mendapat ASI. Maka, pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi meningkatkan persentase pemberian ASI eksklusif. Diperlukan sosialisasi dan edukasi terusmenerus pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Rumah sakit, Puskemas, klinik bersalin, dokter, dan bidan yang bersentuhan langsung dengan persalinan harus aktif mendorong ibu memberi ASI eksklusif. Mitos-mitos yang tidak benar seputar ASI dan susu formula harus dibongkar. Masyarakat harus dicerahkan bahwa ASI adalah asupan terbaik dan tidak tergantikan untuk bayi usia 0-6 bulan.
Selain itu, pemerintah harus mengoptimalkan implementasi regulasi terkait ibu menyusui dengan sanksi tegas pada instansi atau perusahaan yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas memadai pada ibu menyusui. Konkretnya, pemerintah perlu mengintensifkan program pemberian ASI eksklusif dengan menambah jumlah konselor laktasi di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam catatan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia, jumlah konselor laktasi baru 2.000. Padahal, di seluruh Indonesia terdapat tidak kurang 1.300 rumah sakit dan 9.000 Puskesmas.
Jumlah itu belum termasuk klinik bersalin yang dikelola swasta. Idealnya, setiap rumah sakit, Puskesmas, dan klinik bersalin terdapat satu konselor laktasi. Fungsi dan peran konselor laktasi membantu penyuluhan teknis seputar aktivitas menyusui untuk mewujudkan gerakan pemberian ASI eksklusif.
Dengan gerakan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan, kita optimistis masa depan Indonesia akan memiliki generasi berkualitas. Mereka sehat fisik dan psikis. Mereka cerdas dan berdaya saing. Gerakan ini penting untuk menyongsong bonus demografi tahun 2030.
Sivana Khamdi Syukria, Staf Program Keluarga Harapan Kemensos
Redaktur:
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 2 Bayern Munich Siap Pertahankan Laju Tak Terkalahkan di BunĀdesliga
- 3 Dishub Kota Medan luncurkan 60 bus listrik baru Minggu
- 4 Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma Buka Kejuaraan Nasional Karate Championship 2024
- 5 Kampanye Akbar, RIDO Bakal Nyanyi Bareng Raja Dangdut Rhoma Irama di Lapangan Banteng
Berita Terkini
- Minum Cokelat Panas dan Teh Hijau Dapat Kurangi Efek Negatif Stres
- 42 Mahasiswa dari Indonesia Timur Dapat Beasiswa Eramet
- Sleep Apnea Dapat Tingkatkan Risiko Demensia pada Wanita
- Ratusan Pemantau Pemilu Asing Tertarik Lihat Langsung Persaingan Luluk-Khofifah-Risma
- Jonatan Evaluasi Hasil di final China Masters 2024