
Riset dan Penelitian Harus Aplikatif
Ilustrasi. Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bekerja sama dengan PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) memberikan penghargaan kepada sejumlah dokter yang melakukan penelitian melalui Anugerah Karya Cipta Dokter Indonesia (AKCDI) 2020 di Jakarta, Sabtu (12/12).
Foto: ANTARA/HO- dok pri.Banyak yang bilang bahwa Perguruan Tinggi di Indonesia hanya menjadi menara gading. Penelitian dan riset yang dilakukan tersimpan rapi di perpustakaan dan hanya untuk mengisi jurnal-jurnal ilmiah demi meraih kepangkatan atau hak kekayaan intelektual, tapi tidak aplikatif dan merakyat. Padahal seharusnya riset di perguruan tinggi harus bisa berperan nyata untuk kemajuan bangsa.
Dari ribuan proposal riset yang ada di perguruan tinggi, tidak banyak yang bermanfaat bagi masyarakat secara langsung. Tidak banyak yang bisa dibanggakan. Padahal, penelitian atau riset yang dilakukan harus berguna, seperti menghasilkan pengusaha pemula berbasis teknologi sehingga bisa menghasilkan produk-produk yang bisa digunakan masyarakat.
Agar hasil riset bermanfaat bagi masyarakat, harus ada interaksi kuat antara peneliti dan masyarakat sehingga tahu kebutuhannya. Kampus dan lembaga penelitian harus membuka diri, sebanyak mungkin datang ke masyarakat. Bisa dikatakan, riset adalah lokomotif dari berbagai pengembangan. Tidak mungkin inovasi dihasilkan tanpa berbasis riset.
Dan yang tidak kalah penting, inovasi yang dihasilkan pun harus mempunyai nilai komersial. Nilai komersial tidak harus berupa materi yang terhitung dengan uang. Hasil riset juga bisa dikatakan memiliki nilai komersial jika bermanfaat bagi masyarakat.
Bandingkan dengan penelitian yang dihasilkan siswa seolah menengah atas seperti tiga siswa SMA Negeri 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Yazid, Anggina Rafitri, dan Aysa Aurealya Maharani berhasil menemukan bahan yang bisa menjadi titik cerah dalam menyembuhkan penyakit kanker. Hasil penelitian mereka meraih medali emas di World Invention Creativity Olympic 2019 di Seoul, Korea Selatan.
Penelitian mereka benar-benar berasal dari kehidupan sehari-hari yang sudah lama ada di masyarakat. Berawal dari informasi Yazid bahwa ada sebuah tumbuhan di hutan Kalimantan Tengah yang kerap digunakan keluarganya untuk menyembuhkan kanker, bahkan kanker ganas stadium empat sekalipun. Tumbuhan tersebut dalam bahasa Dayak disebut dengan bajakah yang merupakan batang pohon tunggal.
Di bawah bimbingan sang guru, ketiga siswa awalnya melakukan pengujian di laboratorium sekolah kepada tikus yang telah disuntikkan zat pertumbuhan sel tumor atau kanker. Tikus yang diberi air rebusan dari akar kayu bajakah ternyata berhasil hidup sehat setelah memasuki hari ke-50, bahkan bisa berkembang biak. Setelah diuji lebih lanjut, temuan mereka menang dalam lomba Youth National Science Fair 2019 yang diadakan di Univeristas Pendidikan Indonesia Bandung. Mereka akhirnya dikirim ke Seoul dan berhasil menang, meraih medali emas.
Memang hasil penelitian mereka belum teruji nyata untuk manusia, masih butuh proses panjang, tetapi setidaknya mereka telah melakukan penelitian dari kehidupan nyata masyarakat, dari kehidupan sehari-hari yang mereka lihat. Semoga saja penelitian yang mereka lakukan bisa dilanjutkan hingga terealisasi kepada kanker di tubuh manusia. Selain tumbuhan bajakah, ada banyak sekali obat kanker yang berasal dari tanaman herbal khas Indonesia. Biasanya bukan berupa dedaunan, bisa berupa akar dan bahkan kulit pepohonan.
Lembaga penilitian dan terutama perguruan tinggi harus banyak belajar dari tiga siswa SMA Negeri 2 Palangkaraya tersebut. Perguruan Tinggi melalui riset dan penelitiannya sangat potensial dimanfaatkan masyarakat guna membantu pembangunan nasional. Untuk itu, perguruan tinggi harus mengubah visi dan misinya dari sekadar learning university atau research university menjadi entrepreneurial university, yaitu universitas atau perguruan tinggi yang menerapkan hasil-hasil penelitiannya untuk kepentingan dunia usaha dan masyarakat luas.
Kampus jangan menjadi menara gading. Kampus harus bisa menciptakan suasana academic entrepreneur, yaitu masyarakat perguruan tinggi yang berpikir dan berperilaku dengan mengembangkan hasil-hasil penelitian yang diorientasikan kepada kemajuan bangsa dan negara serta peningkatan nilai tambah ekonomi baik bagi dirinya, perguruan tinggi, maupun masyarakat. ν
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ditlantas Polda Babel awasi pergerakan kendaraan lintas kabupaten
- 2 Jangan Beri Ampun Pelaku Penyimpangan Impor. Itu Merugikan Negara. Harus Ditindak!
- 3 Andreeva Kejutkan Iga Swiatek dan Lolos ke Semifinal Dubai Open
- 4 Bima Arya Tegaskan Retret Kepala Daerah Tingkatkan Kapasitas Kepemimpinan
- 5 Dibalut Budaya Tionghoa, Ini Sinopsis Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House)
Berita Terkini
-
Aksi Bersih Pantai Menteri LH dan Panglima TNI di Pangandaran, Peringati Hari Peduli Sampah
-
Peneliti Tiongkok Tetapkan Tolok Ukur Baru dalam Efisiensi Hidrogen Surya
-
Peduli Kesehatan Mental Ribuan Pelaut, PIS Gandeng Federasi Internasional
-
Jerry Butler, Penyanyi Soul Era 1960-an Meninggal Dunia
-
Kisah Samson Preman Kampung Ciemas Sebelum Tewas Diamuk Massa