Petani dan UMKM Penyelamat Krisis Ekonomi 1998 Justru Dimatikan
Foto: istimewaUmbi-umbian dan sagu harus jadi pangan unggulan setelah padi, bukan terigu atau kentang impor.
Presiden harus segera ambil alih tim ekonomi melalui pembentukan Badan Pangan setingkat Menko.
JAKARTA - Sejumlah kalangan mengingatkan bahwa kalangan petani dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta industri dasar sebenarnya merupakan fondasi ekonomi nasional. Unit usaha dari kelompok ekonomi masyarakat bawah itulah yang telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis akibat kehancuran konglomerasi bank pada 1998.
Oleh karena itu, apabila berbagai kebijakan pemerintah justru mematikan petani, UMKM, dan industri dasar tersebut, maka sama saja mematikan fondasi ekonomi nasional.
Anggota Pokjasus Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Ahmad Yakub, mengungkapkan gejala-gejala pemicu krisis ekonomi seperti pada 1998 sekarang ini tampaknya kembali diulang, misalnya bubble kredit properti, impor pangan masif yang menghabiskan devisa, dan utang yang menumpuk.
Di sisi lain, banyak kebijakan pembantu Presiden yang mematikan petani, UMKM, dan industri dasar nasional yang sebenarnya selama ini menopang fondasi ekonomi Indonesia.
"Jadi, jika sampai kembali pecah krisis ekonomi seperti 1998, tidak ada lagi yang menopang dan menyelamatkan ekonomi nasional," tegas Yakub, ketika dihubungi, Kamis (26/10). Semestinya, menurut dia, pemerintah justru memperkuat petani, UMKM, dan industri dasar nasional agar memperkokoh fondasi ekonomi Indonesia itu untuk mengantisipasi krisis.
"Salah satu yang mesti dilakukan adalah mengubah strategi pembangunan pangan menjadi mandiri pangan dari bahan-bahan yang bisa dihasilkan petani sendiri dari potensi daerah masing-masing," papar Yakub. Untuk itu, umbi-umbian, tepung ubi kayu (modified cassava flour atau mocaf ), dan sagu harus menjadi andalan pangan nasional setelah padi, bukan terigu atau kentang impor.
"Indonesia timur tidak ada air untuk padi, yang bisa tumbuh adalah ketela, sagu, dan cassava atau singkong. Ini yang harus dikembangkan menjadi pangan unggulan yang bernilai tambah," jelas dia.
Yakub menilai sangat tidak arif jika Indonesia malah mengadopsi pangan subtropis seperti di Eropa dan Amerika, yakni terigu dan kentang. Ini justru menyebabkan Indonesia bergantung pangan dari petani negara lain, bukan petani sendiri.
Padahal, imbuh dia, 12 tahun lalu sudah ada produksi mi dari mocaf yang gurih, legit, bergizi, serta cocok dengan lidah dan perut orang Indonesia, tapi pangan tersebut tidak berkembang karena tidak didukung pemerintah.
"Umbi-umbian bisa membuat masyarakat mampu makan dan berproduksi secara mandiri. Jangan paksakan seluruh daerah makan dan menanam padi. Ini strategi yang tidak tepat," jelas Yakub. Di sisi lain, pemerintah tidak mendukung pengembangan mocaf karena bergantung pada impor gandum.
Tahun 1990-an, impornya sekitar dua juta ton, kini mencapai 9-10 juta ton. Dengan alasan diversifikasi pangan dari beras ke terigu, tapi malah beralih menjadi bergantung pada impor.
"Cassava, sagu, dan umbi-umbian dianggap makanan tradisional, nggak laku. Padahal, gandum dan kentang di Eropa juga dianggap tradisional, tapi dengan teknologi pangan dikembangkan agar bernilai tambah, seperti dibuat roti," ujar Yakub.
Badan Pangan
Ekonom Indef, Rusli Abdullah, menekankan pentingnya pembentukan Badan Pangan seperti diamanatkan UU Pangan. Selain menjadi simpul untuk ketahanan pangan, juga sebagai upaya memperkuat pertanian dan petani nasional.
Oleh karena itu, kehebatan Presiden Joko Widodo dalam pembangungan infrastruktur juga harus diterapkan dengan mengambil alih tim ekonomi, dan segera membentuk Badan Pangan yang setingkat Menko sehingga bisa mengatasi semua kementerian yang terkait.
Ini seperti ketika Presiden mengambilalih infrastruktur dari Kementerian Pekerjaan Umum. "Keberadaan Badan Pangan ini terkait ketersediaan dan keberlanjutan. Maka seandainya bisa dibentuk, ini akan akan menyelesaikan satu faktor yang menjadi penghambat ketahanan pangan," kata Rusli.
Namun, Rusli mengakui untuk membentuk Badan Pangan memang tidak mudah. Masalahnya, banyak pemburu rente dan mafia pangan yang mengintervensi dan harus dihadapi apabila pemerintah ingin membentuk institusi tersebut.
"Ini harus dihadapi, sehingga nantinya akan memperkecil juga peranan dari mafia pangan, termasuk pemburu rente impor sehingga ketahanan pangan terpenuhi," kata dia. YK/SB/ahm/WP
Redaktur:
Penulis: Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Wali Kota Makassar naik perahu karet tinjau beberapa titik banjir
- Ponorogo gelar pertunjukan reog serentak rayakan status WBTB UNESCO
- BNPB beri bantuan 11 alat deteksi dini banjir kepada Kalsel
- Beli BBM Bisa Dapat Cashback, Pakai Kartu Kredit BNI-MyPertamina
- Para Pebulu Tangkis Dunia Beri Dukungan ke Christian Adinata Usai Dicoret dari Pelatnas