Pemerintah Jangan Terlalu Agresif Berutang
Foto: Sumber: Kementerian Keuangan» Dalam sembilan bulan, pemerintah sudah menerbitkan SBN sepuluh kali.
» Realisasi stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional baru capai 38,6 persen.
- Baca Juga: Banjir Kabupaten Bandung
- Baca Juga: Presiden Tetapkan Pilkada 27 November 2024 Libur Nasional
JAKARTA - Pemerintah diimbau tidak terlalu agresif menarik pembiayaan melalui utang karena dikhawatirkan belanja tidak akan terserap seluruhnya hingga akhir tahun. Apalagi, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) lebih banyak dibeli oleh Bank Indonesia (BI) sehingga membebani neraca keuangan bank sentral.
BI sendiri pada Senin (28/9) memproyeksikan neraca keuangannya akan defisit sebesar 21,8 triliun rupiah pada 2021 salah satunya terimbas penerapan kebijakan berbagi beban atau burden sharing untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menangani pandemi Covid-19.
Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan perilaku agresif pemerintah menarik pembiayaan utang melalui penerbitan SBN, menunjukkan sikap kepanikan para pengambil keputusan yang tengah berusaha mendorong ekonomi yang terjebak dalam krisis akibat pandemi Covid-19.
"Sebenarnya ini adalah sebuah indikator makro bahwa telah terjadi kepanikan di level pengambil kebijakan, baru sembilan bulan, tapi sudah 10 kali menerbitkan SBN. Sangat beralasan banyak yang meminta untuk tidak terlalu agresif seperti ini. Sebab faktanya, sampai menit menit akhir kuartal ketiga, pergerakan ekonomi ternyata belum signifikan, belum berbanding lurus dengan gelontoran beragam pembiayaan yang sudah dibuat dengan berbagai stimulusnya," kata Bambang.
Sementara itu, Manager Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, kepada Koran Jakarta, Senin (28/9), mengatakan lambannya penyerapan belanja hingga Agustus 2020 seharusnya menjadi perhatian pemerintah agar tidak terlalu agresif menarik utang melalui SBN.
Realisasi belanja negara hingga 31 Agustus 2020 baru mencapai 1.534,7 triliun rupiah atau 56,0 persen dari total pagu APBN pada Peraturan Presiden (Perpres) 72 tahun 2020 sebesar 2.739,2 triliun rupiah. Sedangkan stimulus penanganan Covid-19 dari 695,2 triliun rupiah yang dianggarkan, baru terserap 268,3 triliun rupiah atau 38,6 persen.
Untuk itu, pemerintah harus melakukan kajian mendalam terhadap kebijakan utang termasuk SBN dalam pembiayaan defisit APBN 2020 guna menahan bertambahnya beban bunga utang di kemudian hari.
"Pemerintah perlu waspadai oustanding utang yang mayoritas adalah SBN, ketahanan keuangan negara sangat rentan (vulnerable)," kata Hadi.
Saat ini, jelasnya, pemerintah telah memosisikan pembiayaan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mempercepat penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Hal itu nampak jelas dari pembiayaan utang yang meroket tajam dari 402,1 triliun rupiah di 2019 menjadi 1.225,5 triliun rupiah di 2020.
"Jika pemerintah tidak mampu menahan untuk mengeluarkan SBN itu akan sangat berbahaya, karena perekonomian global yang serba tidak menentu. Jika SBN tidak terkontrol akan berbahaya, terlebih jika mayoritas dimiliki asing risikonya semakin besar," paparnya.
Tidak Tergesa-gesa
Secara terpisah, Ekonom Universitas Kebangsaan, Eric Sugandi, mengatakan seharusnya pemerintah menahan penerbitan SBN di tengah rendahnya penyerapan belanja terutama dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Sebaiknya begitu. Walaupun ada strategi front loading untuk pembiayaan, tapi lebih baik tidak terlalu tergesa-gesa jika penyerapannya belum optimal," kata Eric.
Pemerintah, tambah Eric, sebaiknya tidak mengambil risiko berutang lebih besar dari kebutuhan pembiayaan. Lebih bijaksana disesuaikan dengan realisasi belanja.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam rapat kerja secara virtual dengan Komisi XI DPR memproyeksikan neraca keuangan bank sentral defisit 21,8 triliun rupiah pada 2021 salah satunya disebabkan kebijakan berbagi beban atau burden sharing untuk mendukung APBN.
Otoritas moneter, papar Perry, hingga 24 September 2020 BI telah menyerap SBN di pasar perdana senilai 234,65 triliun baik melalui melanisme pasar 51,17 triliun rupiah maupun secara langsung 183,48 triliun rupiah. Selain burden sharing, defisit keuangan BI, juga disebabkan suku bunga global menurun sehingga penerimaan devisa asing juga turun.
n SB/uyo/E-9
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Djati Waluyo, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Genap 70 Tahun, Ini 5 Film Godzilla Kurang Terkenal yang Juga Perlu Ditonton
- Haris Azhar Temukan Data Dugaan Politisasi Hukum di Pilkada Banten
- Ini Rekomendasi Liburan Akhir Pekan di Jakarta, Ada Konser K-pop 2NE1
- Kemenparekraf Aktivasi Keep the WonderxCo-Branding Wonderful Indonesia
- UMP DKI Jakarta 2025 Diumumkan Setelah Pilkada