Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 01 Agu 2019, 01:00 WIB

Mengatasi Karhutla

Foto: koran jakarta/ones

oleh nabila annuria

Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Jambi telah menyatakan status siaga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebanyak 1.512 personel gabungan dikerahkan di tiap provinsi tersebut untuk mengatasi karhutla.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), karhutla per 29 Juli 2019 di lima provinsi tadi mencapai 30.277 hektare. Badan tersebut tak pernah lepas dari kesiagaan mengatasi karhutla. Kabut asap mulai mengganggu sektor perhubungan udara. Seperti dialami pesawat Sriwijaya Air tujuan Kalimantan Barat yang terpaksa batal mendarat di Bandara Internasional Supadio Pontianak. Akhirnya pesawat harus kembali ke Jakarta.

Bencana asap mengganggu aktivitas masyarakat dan perekonomian. Para pekerja yang dekat dengan sumber karhutla berpotensi mengalami gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja. Menyikapi dampak kabut asap para pekerja minta pemerintah dan pengusaha memberikan tunjangan sosial untuk pekerja. Pihak BPJS Ketenagakerjaan perlu antisipasi terkait kasus kecelakaan kerja akibat kabut asap.

Hingga kini belum semua perusahaan yang terkena dampak kabut asap di Sumatera dan Kalimantan memberi jaminan sosial pada pekerjanya. Ada baiknya tiap perusahaan mengeluarkan dana CSR untuk tunjangan tadi. Balitbang Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa dampak kesehatan akibat menghirup asap karhutla dikelompokkan dalam kategori tingkat kepekatan asap yang diukur melalui Indeks Standar Pencemaran Udara. Kemudian, banyaknya asap yang dihirup, dan tingkat kekebalan tubuh.

Meski risiko kematian kecil, kemungkinan kabut asap bisa berakibat fatal bagi seseorang, di antaranya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang memburuk menjadi pneumonia. Bila tidak tertangani dengan baik dan pada kelompok dengan daya tahan tubuh lemah, bisa berakibat fatal.

Kemungkinan lain bisa memperparah penyakit paru dan jantung kronik, apalagi pada lansia sangat berbahaya. Kemudian, bisa berakibat fatal bukan karena penyakit, tapi disebabkan kecelakaan akibat asap yang menghalangi pandangan. Akar persoalan kabut asap belum bisa diatasi lantaran program mengatasi deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut gagal. Pemerintah daerah masih lemah menanggulangi kebakaran lahan gambut yang menjadi penyebab utama bencana kabut asap.

Mitigasi

Bencana kabut asap sebagian besar disebabkan kerbakaran lahan gambut yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Perusakan lahan gambut yang sangat luas menyengsarakan rakyat. Perlu mitigasi untuk penyelamatan lahan gambut yang setiap saat bisa terbakar hebat. Mitigasi melibatkan utamanya masyarakat lokal. Pemerintah daerah belum mampu mencegah perusakan ekosistem hutan gambut dari perluasan perkebunan sawit dan bahan baku kertas. Hal itu tentunya akan melanggengkan bencana asap.

Sistem mitigasi untuk bencana di daerah masih amburadul. Kesiapan daerah untuk menghadapi bencana kabut asap sangat rapuh. Secara regulatif sudah dibuat Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU dibuat agar negara bertanggung jawab penuh melindungi segenap rakyat.

Langkah-langkah dasar dalam penanggulangan bencana yang seharusnya cepat, terkoordinasi, dan transparan belum terwujud. Pada prinsipnya, tujuan penanggulangan bencana untuk melindungi masyarakat dan membuat langkah-langkah terencana dengan meneguhkan kearifan lokal dalam menghadapi bencana.

Mitigasi merupakan serangkaian upaya mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana belum bisa diterapkan pemerintah daerah. Padahal mitigasi seharusnya secara konsisten diterapkan melalui penataan ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, penyelenggaraan pendidikan, dan pelatihan.

Perlu program terpadu antara pusat dan daerah untuk mengatasi akar masalah kabut asap. Program tersebut antara lain usaha rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut tropika yang telah terdegradasi. Gambut yang basah menghambat kebakaran.

Indonesia memiliki lahan gambut 20,6 juta hektare yang merupakan setengah dari luas lahan gambut di daerah tropis. Lahan gambut sebenarnya memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai habitat flora fauna yang spesifik bernilai eknonomi tinggi, seperti pohon ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera custulata), meranti, dan bermacam satwa orang utan.

Selain itu, lahan gambut mempunyai peran penting ekologi dan kemampuan menyimpan air serta karbon dalam jumlah besar. Sayang, peran tersebut kini terganggu agroindustri. Belum ada kesungguhan dan program tepat untuk mengelola serta melestarikan gambut secara tepat. Program restorasi dan rehabilitasi lahan gambut selama ini masih asal-asalan.

Semua pihak perlu memahami fungsi ekologis hutan gambut yang fungsi alamiahnya mirip gunung yang menjadi mata air beberapa sungai. Fungsi gunung yang menampung dan menyerap air identik dengan hutan gambut yang secara geologis berbentuk kubah gambut.

Sebenarnya fungsi gunung-gunung dalam menampung dan menyerap air tawar, di kawasan gambut seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua, digantikan lahan gambut yang memiliki kandungan karbon sangat besar. Kemampuannya bagaikan spon raksasa yang bisa menampung dan menyimpan air pada musim hujan lalu melepaskan perlahan di musim kemarau. Itulah peran besar gambut sebagai pemasok air tawar.

Celakanya, kini terjadi perusakan parah kawasan gambut tropika sehingga kemampuan kawasan sebagai penyimpan dan cadangan air berubah menjadi lahan kering kerontang, sehingga menjelma menjadi bara api yang memproduksi asap ke mana-mana.

Perlu pelestarian dan pengelolaan ekosistem lahan gambut dengan pendekatan sosioekologis. Perlu juga penerapan inovasi teknologi irigasi gambut. Inovasi teknologi pengairan tersebut pada prinsipnya untuk mengairi atau membasahi secara efisien lahan gambut yang kritis agar tak mudah terbakar di musim kemarau.

Selain itu, jaringan pipa irigasi tersebut juga bisa berfungsi mengalirkan debit air yang tersimpan di hutan gambut yang masih lestari untuk keperluan tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan air baku untuk keperluan rumah tangga. Penulis Lulusan Fakultas Sainstek Universitas Airlangga

Redaktur:

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fandi, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.