Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Zonasi Vs Keadilan

A   A   A   Pengaturan Font

Dalam dua pekan terakhir, masyarakat khususnya orang tua siswa yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah, gelisah akan nasib anak-anak. Sementara itu, para siswa sendiri berceloteh di media sosial terkait sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) SD hingga SMA.

Kebijakan zonasi dianggap tidak adil. Banyak siswa dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) tinggi, tidak terjamin dapat masuk ke sekolah pilihan yang dianggap favorit hanya karena tempat tinggalnya di luar zonasi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 telah menerapkan sistem zonasi dalam PPDB.

Sistem ini diterapkan sebagai strategi pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional. Namun, kenyataan di lapangan seperti banyak tergambar dalam berbagai berita dan informasi media sosial masih banyak persoalan. Ada protes dan usulan untuk mengevaluasi sistem itu makin kencang disuarakan orang tua, kepala daerah, dan pengamat pendidikan.

Pemerintah beralasan, sebelum penerapan sistem zonasi, sudah mengkaji mendalam. Sayang, hasil kajian mendalam itu kurang disosialisasikan atau diperdebatkan di ranah publik. Apalagi sistem ini diterapkan secara nasional, mestinya sosialisasi sistem tersebut harus lebih masif.

Pemerintah masih gamang mengelola pendidikan sehingga yang muncul selalu saja kebijakan yang belum matang. Anak didik kerap menjadi korban uji coba sistem baru. Bukan hanya sistem zonasi, penerapan kurikulum tahun 2016 juga sempat menimbulkan kebingungan pendidik dan siswa.

Dari penerapan sistem zonasi, tampak pemerintah terlalu tergesa-gesa, kurang sosialisasi, dan langsung diterapkan di seluruh Indonesia. Mestinya, ada uji coba dulu untuk beberapa wilayah. Setelah itu dievaluasi kekurangan sebelum diterapkan secara nasional.

Jika perlu dibuat klasifikasi mutu pendidikan dari setiap tingkatan. Kemudian, dilihat rasio jumlah sekolah di setiap tingkatan setiap daerah. Artinya, penerapan sistem zonasi tidak bisa langsung menyeluruh di Tanah Air. Lihat dulu prasyarat tingkat pemerataan mutu sekolah, persebaran, dan data usia sekolah tiap wilayah.

Jadi, penerapan zonasi meski dengan alasan sangat rasional dan baik, pengkajian dan sosialisasi di lapangan sangat lemah. Sistem zonasi memang sudah sangat baik diterapkan di Jepang, Australia, dan Inggris. Namun, mutu pendidikan di tiga negara tersebut sudah sangat merata.

Alasan keadilan yang sering didengungkan pemerintah juga masih bisa diperdebatkan dalam konteks kewajiban peserta didik harus mendaftar sekolah sesuai alamat rumah. Sebab, tempat tinggal, sesuai dengan kenyataan perkembangan permukiman sejumlah daerah, lebih banyak berada di pinggir kota. Jadi, persoalan jarak jangan hanya dilihat fisik, tapi psikologis juga.

Jauh-dekatnya jarak rumah dengan sekolah lebih pada persoalan psikologis, bukan fisik. Keadilan siswa juga banyak dirugikan. Sebab keharusan mendaftar di sekolah terdekat rumah, belum tentu disenangi siswa.

Sebetulnya, selama ini sistem PPDB tidak ada masalah. Tetapi, pemerintah mencoba masuk dalam persoalan tersebut dan mengaturnya secara kaku. Belum lagi jika lihat pembagian sistem zonasi, khususnya kewajiban sekolah untuk menerima siswa dengan kemampuan rendah karena tinggal dekat sekolah.

Semestinya, keberpihakan pemerintah tidak demikian. Bisa saja murid kurang pandai akhirnya stres tidak bisa mengikuti cara pengajaran di sekolah yang mungkin kebanyakan siswanya jauh di atas rata-rata.

Keadilan bisa diterapkan dengan menempatkan murid di sekolah yang lebih sesuai dengan kemampuan, bukan disatukan dengan siswa-siswa sangat pandai. Jadi, bukan dengan mewajibkan sekolah terdekat menerima mereka. Jadi, evaluasi menyeluruh sistem zonasi. Jangan lagi peserta didik jadi "kelinci" percobaan.

Komentar

Komentar
()

Top