Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Wewenang KPK di Ujung Tanduk

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga negara ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pada perkembangannya, peran KPK memberantas korupsi sangat efektif. Puluhan pejabat tinggi bahkan ratusan pejabat menengah dan kecil serta pihak-pihak terkait telah mampu dibuktikan oleh KPK terlibat kasus korupsi.

Manakala KPK bekerja sesuai dengan standar, operasional, dan prosedur berlaku, tak sedikit usaha pelemahan KPK terjadi. Terakhir, bersamaan dengan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat usulan tentang tindak pidana korupsi (tipikor) masuk dalam KUHP, yaitu ke bagian ketiga Bab XXXVIII Pasal 687-696. Ini artinya, kewenangan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang utamanya bertugas melakukan penindakan terhadap kejahatan korupsi menjadi pudar.

Sebab, UU KPK menentukan bahwa mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan Pasal 1 angka 1 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kalau tipikor masuk ke KUHP, apakah pasal tersebut masih berlaku? Apa KPK masih bisa menyelidik, menyidik dan menuntut kasus korupsi karena di RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK?"

Meskipun Pasal 729 Rancangan KUHP membuka peluang kewenangan lembaga-lembaga independen tetap berwenang menangani tindak pidana khusus, namun Pasal 723 Rancangan KUHP kembali mementahkan kekuatan Pasal 729 RKUHP.

Bukan itu saja, penjatuhan pidana denda pada tindak pidana korupsi menjadi sangat rendah dibandingkan dengan pada UU Tipikor. Hal ini diperparah dengan pemberlakuan Pasal 63 Ayat (2) Rancangan KUHP yang menentukan jika pidana denda dan pidana badan dijatuhkan secara kumulatif, maka pidananya tidak boleh melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut. Artinya, penjeraan yang dimaksudkan untuk dicapai pada UU Tipikor terhadap para terdakwa korupsi, tidak tercapai.

Lebih dari itu, Pengadilan Tipikor akan mati suri jika delik korupsi masuk dalam Rancangan KUHP. Padahal, di dalam Pasal 6 Undang Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

Jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP, kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum. Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor.

Pidana bagi pelaku percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat dalam Rancangan KUHP berbeda dengan UU Tipikor. Padahal, salah satu bentuk kekhususan UU Tipikor adalah pemberatan bagi para pelaku. Itulah mengapa bentuk percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat dalam UU Tipikor berbeda dengan KUHP, yaitu dipidana sama dengan pelaku pidana. Selain itu, tidak ada pidana tambahan uang pengganti. Padahal, mekanisme pidana tambahan uang pengganti harus dipandang sebagai upaya pemulihan aset negara (asset recovery), sebagai salah satu bentuk dan kriteria penting dari tindak pidana korupsi.

Kita mesti sepaham bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena kejahatan ini menyangkut hak politik, sosial, eknomi rakyat, bersifat destruktif dan mengganggu suatu kegiatan pembangunan negara. Tipikor juga sudah menjadi penyakit yang sistemik dan endemik lalu bertransformasi menjadi tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes).

Komentar

Komentar
()

Top