Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Mata Uang - Pada Semester I-2024, Kurs Rupiah Melemah 6,34 Persen

Waspadai Risiko Rupiah Melemah hingga Rp17.000/Dollar AS

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu mewaspadai pelemahan rupiah sepanjang tahun ini. Bahkan, rupiah berpotensi melemah hingga jauh meninggalkan level yang ditargetkan.

Sepanjang semester I-2024, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah 976 poin atau 6,34 persen. Bahkan, kurs rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan Selasa (2/7) sore, ditutup melemah 75 poin atau 0,46 persen dari sehari sebelumnya menjadi 16.396 rupiah per dollar AS.

Angka tersebut jauh meninggalkan level dalam asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2024, yakni di posisi 15.000 rupiah per dollar AS. Bahkan, pelemahan tersebut diperkirakan masih berlanjut ke depan.

Gubernur Bank Indonesia Periode 1993-1998, J Soedradjad Djiwandono, memperingatkan nilai tukar rupiah berpotensi menembus 17.000 rupiah per dollar AS jika bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed kembali menaikkan suku bunganya.

"Jika the Fed naikkan suku bunga, itu yang ditakuti ya," ujar Soedradjad dalam acara MRI Banking Service Excellence 2024, Selasa (2/7).

Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan sangat dimungkinkan rupiah tembus 17.000 rupiah per dollar AS, sekalipun hanya pernyataan the Fed tidak akan menurunkan suku bunganya dalam satu tahun ini.

"Apalagi jika menaikkan suku bunga acuan, sudah pasti tembus 17.000 rupiah per satu dollar AS bahkan bisa lebih parah dari itu," ujarnya kepada Koran Jakarta, Selasa (2/7).

The Fed, terang Huda, memegang kendali dalam nilai tukar di tingkat global, begitu menyatakan menahan atau menaikkan suku bunga acuan, permintaan dollar akan meningkat.

"Jadi, BI harus hati-hati menyikapi ini jangan langsung ambil langkah gegabah dengan memperhatikan pasar global dan kekuatan devisa kita," tegas Huda.

Rekan Huda di Celios, Bhima Yudisthira, menambahkan kenaikan suku bunga AS hanyalah pemicu, tetapi akar masalahnya ada di fundamental ekonomi yang rapuh.

Menurutnya, deindustrialisasi menciptakan kebergantungan terhadap impor bahan jadi, sementara importasi pangan melonjak. Faktor lainnya utang luar negeri yang sebagian untuk belanja konsumtif dan terlambat mengambil transisi energi sehingga beban impor bahan bakar minyak (BBM) besar sekali.

"Penyakitnya sudah sangat kompleks sehingga kena serangan dari luar seperti suku bunga AS dan geopolitik timur tengah langsung rupiah melemah," ungkap Bhima.

Dia menambahkan, faktor tidak jelasnya belanja negara dan APBN secara umum pada 2025 membuat khawatir investor. "Masalah ini tentu akan jadi tantangan rupiah paling besar tahun ini dan tahun depan," papar Bhima.

Devisa Tergerus

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan potensi pelemahan rupiah hingga 17.000 rupiah per dollar AS masih terbuka karena cadangan devisa terus tergerus karena impor dan upaya stabilisasi nilai tukar. Di sisi lain, upaya menggenjot penerimaan valas dollar AS juga belum bervariasi caranya.

"Ditambah tahun depan jatuh tempo utang juga masih besar nilainya. Artinya, beban bayar cicilan utang dalam dollar AS dan bunga juga tinggi, sehingga generating income dalam dollar AS itu harus lebih banyak dilakukan," jelasnya.

Dinamika kebijakan suku bunga acuan the Fed tersebut mendorong rupiah makin tak menentu. Jika terus berlanjut, pelemahan rupiah bakal mengganggu perekonomian nasional.

Di sektor riil, pelemahan rupiah telah berdampak ke industri penerbangan. Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) meminta pemerintah memberikan relaksasi agar bisa bertahan di tengah pelemahan nilai tukar rupiah.

Adapun relaksasi yang dimaksud bisa dalam perpajakan dalam pengadaan suku cadang pesawat, insentif, tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) atau Passenger Service Charge (PSC), maupun harga bahan bakar avtur.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top