Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Prospek 2022 | Kenaikan Harga Energi Picu Inflasi Tahun Depan

Waspadai Risiko Inflasi Tinggi

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah perlu mewaspadai ancaman inflasi tinggi yang berpotensi mengganggu upaya memacu pertumbuhan ekonomi tahun depan. Tingkat inflasi pada 2022 diproyeksikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari capaian pada 2021.

Indef menilai tanda-tanda kenaikan inflasi pada 2022 tak hanya terjadi di perekonomian domestik, tapi juga di negara maju. Akselerasi pemulihan di negara maju membuat kenaikan inflasi sudah mereka rasakan. Sebaliknya, negara berkembang masih berjuang memulihkan daya beli dan menaklukkan pandemi Covid-19.

Dalam diskusi Proyeksi Ekonomi 2022 di Jakarta, Rabu (24/11), Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, menilai lonjakan inflasi pada 2022 dipengaruhi kenaikan harga energi sehingga berimplikasi pada peningkatan biaya produksi. Pada akhirnya, inflasi akan terpresentasikan dari harga jual suatu produk/ jasa tersebut.

Selanjutnya, pemicu lainnya adalah potensi kenaikan suku bunga kredit di tengah pemulihan ekonomi. Kenaikan suku bunga kredit akan mendorong biaya produksi di pelaku usaha yang kemudian ditransmisikan ke harga jual produk.

Faktor berikutnya, risiko depresiasi nilai tukar rupiah pada 2022 yang dapat mendorong kenaikan imported inflation. "Padahal tingkat ketergantungan industri di Indonesia pada komponen impor masih cukup tinggi. Ini yang perlu diantisipasi," terang Berly.

Gangguan produksi di dalam negeri juga dapat menjadi tantangan yang memicu peningkatan inflasi. Kontributor utama inflasi di Indonesia adalah inflasi yang bersumber dari volatilitas harga bahan pangan. "Akibat curah hujan yang tinggi dan bencana banjir yang umumnya terjadi hampir setiap tahun di berbagai daerah di Indonesia dapat membuat inflasi meningkat," ucapnya.

Sisi penyediaan berbagai macam komoditas pangan di berbagai daerah dapat terganggu, selanjutnya tentu saja harga akan meningkat. "Indef memproyeksi tingkat inflasi pada 2022 sebesar 3,5 persen (yoy)," ucap Berly.

Angka tersebut sedikit di atas target pemerintah yang tertuang dalam asumsi makro di APBN 2022 sebesar 3 persen. Saat ini, inflasi berada di level rendah akibat dampak pandemi Covid-19. Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi tahun ini berada sekitar 2 persen atau ambang bawah target 2021.

Pengendalian Harga

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) memperingatkan adanya potensi peningkatan tingkat inflasi pada 2022. Hal tersebut seiring dengan prospek pemulihan ekonomi.

Kepala BPS, Margo Yuwono, mengatakan hal ini memang sesuai dengan polanya, di mana pemulihan ekonomi maka ada peningkatan permintaan dan transaksi barang. Sayangnya, Margo enggan menyebut perkiraan tingkat inflasi di tahun depan. Pasalnya, BPS memang tidak membuat proyeksi inflasi.

Meski demikian, dia mengimbau agar potensi peningkatan harga ini diwaspadai oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan upaya ekstra dari pemerintah untuk tetap melakukan kebijakan pengendalian harga.

"Baiknya pemerintah tetap bisa melakukan pengendalian harga agar daya beli masyarakat tidak terganggu di tahun depan," tandasnya, awal bulan ini.

Hal senada juga pernah disampaikan Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti. Dia memperingatkan momentum peningkatan konsumsi rumah tangga sejak pertengahan tahun ini harus dijaga jangan sampai menyebabkan harga-harga tidak terkendali.

"Ini demand yang kembali meningkat, pent-up demand tinggi. Tapi kalau tidak diimbangi distribusi barang yang smooth, tentu akan menyebabkan terjadinya tekanan harga juga. Dalam hal ini, kalau kita bicara di bank sentral yang kita concern adalah inflasi. Kalau sudah inflasi, nanti naiknya ke nilai tukar," kata Destry.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top