Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tantangan Perekonomian I Risiko Ketidakpastian Global Berlangsung hingga 2023

Waspadai Resesi Ekonomi yang Berpotensi Kembali Melanda

Foto : KORAN JAKARTA/ONES/AND
A   A   A   Pengaturan Font

» Survei menempatkan Indonesia pada posisi 14 dari 15 negara di Asia yang kemungkinan mengalami resesi.

» Langkah antisipasi bisa dengan kebijakan yang mendukung penerimaan negara.

JAKARTA - Pemerintah menyatakan akan tetap mewaspadai potensi resesi ekonomi yang bisa melanda Indonesia meskipun peluangnya kecil. Tanggapan itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, sebagai respons atas survei terbaru yang dilakukan Bloomberg.

Hasil survei menempatkan Indonesia pada peringkat 14 dari 15 negara di Asia yang kemungkinan mengalami resesi dengan kemungkinan sebesar 3 persen atau terpaut jauh dari Sri Lanka yang menempati posisi pertama dengan potensi resesi 85 persen. Setelah Sri Lanka, ada New Zealand dengan persentase 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, dan Tiongkok 20 persen.

"Kami tidak akan terlena, kami tetap waspada," ungkap Menkeu dalam keterangan pers pada side event G20 Indonesia 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (13/7) seperti dikutip dari Antara.

Dikatakan dengan persentase potensi resesi Indonesia yang sangat rendah juga menggambarkan ketahanan pertumbuhan ekonomi domestik yang terlihat pada indikator neraca pembayaran hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kuat.

"Dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga kita juga relatif baik," katanya.

Untuk itu, dia menekankan kalau seluruh instrumen kebijakan akan digunakan, baik kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan.

"Namun, kita tetap waspada karena ini akan berlangsung sampai tahun depan. Risiko global mengenai inflasi dan resesi atau stagflasi sangat nyata dan akan menjadi salah satu topik penting pembahasan di G20 Indonesia," kata Menkeu.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Solikin Juhro, mengingatkan akan risiko stagflasi yang akan mengganggu stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Risiko stagflasi, jelasnya, diperkirakan bervariasi antarnegara di dunia, sehingga perlu dicermati lebih lanjut, mengingat kebijakan moneter beberapa negara besar yang lebih agresif justru berpotensi meningkatkan ketidakstabilan ekonomi global.

Sebab itu, dia melihat ada krisis yang berkepanjangan dan menular. Apabila sebuah negara tidak bisa bersungguh-sungguh menanganinya dengan benar, akan ada risiko yang terjadi pada krisis berikutnya.

Setelah beberapa negara menyerah dengan pandemi Covid-19 yang sudah melandai, muncul berbagai konflik baru, seperti geopolitik hingga proteksionisme. Namun, berbagai konflik tersebut tidak bisa diatasi sebuah negara sendirian.

"Kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus memiliki sinergi kebijakan yang lebih kuat, tidak hanya secara nasional, tetapi juga di tingkat internasional," kata Solikin.

Dengan berbagai tantangan yang pelik itu, Bank Indonesia, katanya, tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan suku bunga acuan. Instrumen lain pun turut dikerahkan sebagai bauran kebijakan.

Turun Drastis

Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan ancaman resesi bagi Indonesia, apabila konsumsi menurun drastis akibat mahalnya barang-barang kebutuhan sehari-hari sehingga masyarakat terpaksa mengurangi pengeluarannya.

Kedua, mahalnya harga komoditas primer dan bahan bakar minyak (BBM) yang akan memukul usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), padahal mereka berkontribusi 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sisi permintaan dan penawaran yang berkontraksi berpotensi mempercepat terjadinya resesi. Dalam kondisi demikian, tindakan yang tepat adalah menyalurkan subsidi yang tepat sasaran.

Diminta secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan meskipun peluang resesi kecil, namun harus tetap diantisipasi.

Antisipasi bisa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung peningkatan pendapatan APBN.

"Untuk menghadapi resesi, pengelolaan APBN harus diarahkan melalui peningkatan revenue-nya. Sektor swasta harus didukung lewat insentif-insentif, terutama bisnis yang belum menghasilkan keuntungan serta UMKM dan perusahaan rintisan atau startup. Insentif diharapkan agar menstimulasi usaha mereka sehingga produktif dan bisa menghasilkan pajak yang dapat menyehatkan APBN.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top