Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Warisan Agung "Para Jenderal 98"

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat negeri ini selalu tinggal kenangan. Tak satu pun bisa diungkap. Hal ini terkait dengan berbagai pihak, bisa rezim, jenderal-jenderal, atau orang kuat lain, baik secara finansial maupun politis. Untuk sekadar melengkapi ingatan, sebut saja kasus Talangsari Lampung, Semanggi I, II, penculikan aktivis 98, dan tentu saja kasus yang tengah ramai lagi, kerusuhan 13-14 Mei 98.

Kasus-kasus tersebut sering dikaitkan dengan petinggi militer. Misalnya, Talangsari dengan Hendro Priyono. Penculikan aktivis 98 dengan Prabowo Subianto yang kini nyapres. Semanggi I, II terkait Wiranto. Sedangkan kerusuhan menggila 13-14 Mei di kalangan militer saling tuduh. Ada yang mengaitkan dengan Prabowo dan Wiranto. Semua itu tak terungkap. Kasus-kasus tersebut sebenarnya terhitung masih "segar", tapi tetap saja tak terungkap. Jadi, jangan lagi bicara pembantaian 1965.

Hari-hari ini ada momentum untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut usai Mayjen (Purn) Kivlan Zen menuduh Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998 dalam diskusi "Para Tokoh Bicara 98" di Gedung Ad Premier, Jakarta Selatan, Senin (25/2). Kivlan juga menyebut Wiranto memainkan peranan ganda saat menjabat Panglima ABRI. Kivlan juga menyebut Wiranto pada tahun 2003 terkait anggaran nonbujeter 10 miliar rupiah untuk pengamanan swakarsa, tapi kata Kivlan, belum dibayarkan.

Menanggapi tuduhan tersebut, Wiranto mengajak Kivlan dan Prabowo untuk sumpah "pocong". Ini tentu aneh, kasus tersebut tidak bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. Jawaban Kivlan mungkin lebih rasional. Dia tak mau sumpah pocong. Kivlan mengajak Wiranto ke Pengadilan HAM guna menjelaskan peristiwa 1998. Ucapan Kivlan ini tentu aneh karena dia tidak pernah mau memenuhi panggilan Komnas HAM untuk diperiksa terkait penghilangan nyawa aktivis 1998.

Baca Juga :
Olahraga dan Politik

Padahal di berbagai kesempatan, dia mengatakan tahu di mana 13 aktivis yang sampai sekarang tidak ditemukan itu. Mereka hilang selama 1997/1998. Mereka adalah Yani Arif, Sonny, Dedy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, dan Widji Thukul. Kemudian, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.

Kivlan Zen adalah Kepala Staf Kostrad saat Prabowo menjabat Pangkostrad, termasuk tahun 1998. Keduanya tidak pernah memenuhi panggilan Komnas HAM untuk diperiksa. Rakyat menunggu kejujuran Kivlan, Prabowo, dan Wiranto. Mumpung mereka masih hidup harus mau bersaksi buka-bukaan. Ajakan Kivlan ke Pengadilan HAM tentu bagus.

Keinginan Wiranto untuk buka-bukaan tentu juga bagus, asal tentang tragedi 98, bukan buka-bukaan tentang Kivlan. Jangan sampai kasus pelanggaran HAM berat 98 bernasib sama seperti Supers Semar (SS) sampai semua tokoh dekatnya meninggal. Kini SS tetap tinggal misteri karena para tokoh dekatnya sudah meninggal semua.

Andai saja Kivlan, Wiranto, Prabowo, dan siapa pun yang mengetahui kasus 98 mau buka-bukaan, itu akan menjadi warisan agung bangsa dan pintu masuk untuk buka-bukaan kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Mereka bisa juga menempuh jalan yang diusulkan Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam.

Di antaranya, ketiganya menemui jaksa agung untuk memberi kesaksian. Kesaksian bisa juga lewat tertulis. Mereka bisa juga memberi keterangan ke Komnas HAM yang tidak pernah mereka penuhi panggilannya. Keterangan itu juga tetap akan dikirimkan kepada jaksa agung sebagai penyidik pelanggaran HAM berat. Cara lain, jaksa agung bisa proaktif memanggil ketiganya untuk diperiksa. Jaksa agung bisa juga menerbitkan surat perintah penyidikan kepada Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan.

Itu hanya bisa terjadi, kalau para jenderal itu benar-benar berjuang untuk bangsa, tidak hanya omongan. Proaktiflah menghadap jaksa agung untuk menjelaskan A-Z agar kasusnya tuntas, sehingga nama mereka tidak selalu dibawa-bawa. Lebih dari itu, merela akan dikenang benar-benar memberi warisan agung bangsa. Jadi, jangan hanya bercakap-cakap di media atau meja diskusi. Andai mereka tidak terlibat, tak ada alasan sungkan buka-bukaan. Tapi, sebaliknya!

Komentar

Komentar
()

Top