Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
AINAKI

Wadah Animator Indonesia yang Siap Mendunia

Foto : dok. AINAKI
A   A   A   Pengaturan Font

Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI) telah memproklamirkan diri untuk eksis di mata dunia, karya-karya hebat dan besar yang tersebar di dunia masih dikerjakan secara sporadis dan belum terorganisir. Melalui wadah ini, AINAKI berusaha merangkul dan mengelola secara profesional.

Pernahkah terbayang bahwa karya yang dilahirkan perusahaan film besar seperti Dreamworks, Lucas Cinema, Warner Bros, dan lainnya, ada keikutsertaan putra Indonesia? Sebut saja Rini Sugianto terlibat dalam pembuatan The Adventures of Tintin, Griselda Sastrawinata, dalam film Shrek, Andre Surya dalam film Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of The Fallen, The Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, dan Surrogates.

Kemudian Christiawan Lie, dalam film Transformers 3, GI Joe, Spiderman 4, Starwars dan Lord of The Rings. Wirawinata, keikutsertaannya dalam membuat film The little Red Plane malah meraih banyak penghargaan seperti Student Emmy Award, Dance with Film, Piala Kristal di Festival Film Heartland, serta ditayangkan khusus di film Cannes.

Kini Wiranata dengan perusahaannya bernama Shadedbox diajak bekerjasama dengan perusahaan besar seperti Gotham Group, Buena Vista Games, Sonny Computer Entertainment of America, Microsoft, Midway Games dan Landor, dengan karya animasi iklan Burger King, Toyota Yaris, Air Transport Authority, dan film animasi Disperate Housewives. Marsha Chikita, putri dari penyanyi rock Ikang Fauzi berkarya untuk film Ipin - Upin.

Ainaki sebenarnya telah berdiri sejak 2004 dan beberapa kali melakukan pertemuan tahunan, namun baru saat ini digarap dengan semangat tinggi. Bekerjasama dengan Kadin Indonesia di Hotel Missoury - Menteng pada 15 - 17 Februari 2019, Ainaki berharap apa yang menjadi impiannya berjalan lancar dan lebih prospektif. pur/R-1

Sulitnya Ciptakan Tokoh

Pada awal 2004, AINAKI berdiri atas inisiatif Narliswandi (Iwan) Pilliang dan Achmad Hirawan, segera setelah mereka berbincangbincang dengan pihak Kemenperin dan Kemdag tentang dunia animasi di Indonesia. Kemudian Narliswandi menghubungi Denny A Djoenaid, Kemal Sudiro dan Glenn Tumbelaka untuk turut serta dalam kepengurusan AINAKI.

Denny A Djoenaid kemudian mengajak rekan-rekan animatornya seperti Deddy Syamsuddin, Arnas Irmal, Rully Rochadi, dan Poppy Palele, juga rekannya yang non-animator yaitu Peni Cameron, untuk ikut serta dalam pendirian AINAKI ini. Setelah berkonsultasi beberapa kali dengan pihak Kemenperin dan Kemendag, Kemdikbud dan Ditjen HAKI, maka pada 8 Juni 2004, dilangsungkan acara Temu Usaha di gedung Bidakara Jakarta Selatan, dengan mengundang praktisi, pengusaha, dan pengelola studio animasi yang ada di Indonesia. Pada acara Temu Usaha yang dihadiri ±160 peserta, menghasilkan deklarasi pendirian AINAKI.

Ada beberapa persoalan yang dihadapi Ainaki antara lain modal besar untuk mendirikan usaha yang bisa bekerjasama dengan AS dan Eropa. Di luar negeri para pengusaha animasi sudah establish sementara di Indonesia belum, hal ini disebabkan karena belum adanya pengusaha Indonesia yang berminat mengembangkan bisnis ini secara serius, oleh karenanya Ainaki masih mengekor pada perusahaan besar untuk andil.

Untuk dapat membuat karya dengan tokoh sendiri yang bisa diterima di luarnegeri butuh waktu lama dan modal besar, serta masih sulitnya membangun IP (Intelegence Property) atau tokoh animasi yang betul-betul karya cipta animator Indonesia bisa diterima masyarakat dunia.

"Dunia animasi masih dibilang baru dalam era komputer, jika sebelumnya animasi masih berupa 2D yang terbuat dari kertas, sekarang harus mengevolusi diri ke era komputer, belum lagi sulitnya untuk membangun IP dan usaha studio yang benar-benar establish, pengusaha di luar sudah sangat establis, sementara di Indonesia belum," ungkap Eka Chandra, Ketua Panitia.

Saat ini animeter pembayaran animator di Indonesia belum bisa mengikuti besaran nilai di luar negeri, tetapi masih mengacu pada UMR di Indonesia, hal ini dikarenakan animator kita masih mengikuti IP karya luar yang sudah terkenal seperti Mickey Mouse, The Lion King, Avatar, Popeye. Animator yang dipekerjakan di luar negeri paling banyak saat ini datang dari Tiongkok, Malaysia, Singapore dan India.

Animator Indonesia masih di urutan terakhir walau sebenarnya jumlah yang potensial cukup banyak. Dari data yang dilaporkan ke luar jumlahnya hanya sedikit, ini juga yang menyebabkan pemberian proyek masih kecil porsinya.

Diharapkan, dengan mengikut sertakan Kadin, Ainaki bisa lebih maju dan lancar, baik dari kualitas karya, jumlah pekerja, serta pendapatan yang diraih animator, dan bisa menjadi aset negara, bukan lagi sebagai penikmat karya orang lain, tetapi sebagai pelaku seni yang dapat dinikmati orang lain, di seluruh dunia. pur/R-1

Tenaga "Padat Karya"

Di bidang industri, pengertian animasi sampai pertengahan 90-an lebih dikenal sebagai tempat kerja "padat karya" yang tentunya menggembirakan pihak Kementerian Tenaga Kerja. Beberapa studio antara lain Evergreen, Marsya, Bintang Jenaka, lebih banyak memusatkan pada pengerjaan in between, clean up bahkan sampai dengan tracing dan painting, dari film-film serial TV animasi Jepang dan AS, termasuk dari Disney. Gambar utama (Keys), didatangkan dari negeri masing-masing.

Tak cuma Indonesia yang kecipratan kinerja tersebut, Hong Kong, Korea Selatan, Filipina, dan Muangthai sudah lebih dahulu dengan kegiatan padat karya tersebut. Penyebab utamanya adalah alasan ekonomis bagi produser mancanegara karena tenaga "padat karya" di negara mereka sangat mahal. Sebagian dari kita menganggap, pengerjaan itu tak lebih semacam pengerjaan "konfeksi" di pabrik garment. Hanya melahirkan orang-orang terampil, teliti, dan tekun.

Karena perkembangan animasi di Indonesia dirasa kurang mengalami kemajuan yang berarti terutama dalam hal industri, beberapa animator merasa perlu untuk membuat komunitas, tempat saling bertukar informasi dan pengalaman. Dalam praktiknya, tidak mudah mempersatukan visi diantara pekerja animasi.

Maka Asosiasi Animasi Indonesia (ANIMA) didirikan pada 1993 oleh beberapa tokoh antara lain Mulyono, pengelola studio yang memperkerjakan sejumlah in-betweener film-film mancanegara, Amoroso Katamsi (Dirut PPFN), Daniel Haryanto, Wagiono, Denny A Djunaid, Johnny Jauhari (Dosen Fakultas Seni Rupa Universitas Trisakti) dan Dwi Koendoro. Sampai saat ini komunitas ini masih berjalan meskipun dengan sedikit kegiatan. ANIMA adalah asosiasi animasi yang berdiri dibawah payung ASIFA (Asosiasi Animasi Internasional). Adapun Ketua ANIMA saat ini adalah Gatot Prakosa yang sekaligus sebagai Ketua ASIFA perwakilan Indonesia. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top