Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sejarah Pandemi

“Wabah Yustinianus" yang Landa Romawi Dipengaruhi Perubahan Iklim

Foto : Wikimedia
A   A   A   Pengaturan Font

Wabah penyakit pes pernah melanda Romawi secara bergelombang dimulai dari Wabah Yustinianus. Penelitian terbaru menyebutkan, penyakit ini dipengaruhi oleh perubahan iklim yang terjadi, dibuktikan dari sampel mikroorganisme "dinoflagellata"

Wabah penyakit pes pernah melanda Kekaisaran Romawi pada abad keenam. "Wabah Yustinianus", demikian dinamakan, termasuk dalam wabah penyakit terburuk yang pernah dialami manusia khususnya masyarakat Eropa ketika itu.

Menurut sejarawan Bizantium, Procopius, wabah yang terjadi itu disebut hampir memusnahkan seluruh umat manusia. Saat itu setengah populasi Kekaisaran Romawi dan puluhan juta orang di sekitar Mediterania mungkin meninggal dunia dalam pandemi ini.

Wabah yang menurut istilah modern disebabkan oleh penyakit pes. Penyakit ini disebabkan oleh bakteriYersinia pestismelalui gigitan pinjal atau kutu yang hidup pada tikus. Penularan antarmanusia terjadi melaluidropletsyang mengandung bakteri pes.

Penyakit yang saat ini mudah sembuh dengan obat antibiotik ini biasanya dimulai dengan demam, diikuti pembengkakan di selangkangan dan ketiak, kemudian koma ataudelirium, lalu kematian. "Tampaknya tidak ada yang bisa membantu. Penyakit ini tidak ada penyebab yang berada dalam jangkauan penalaran manusia," tulis Procopius.

Ketika itu masyarakat Romawi tidak mengetahui penyebab terjadinya penyakit tersebut. Penyakit yang datang dan pergi di masa lalu ini menurut penelitian terbaru kemungkinan dipengaruhi oleh terjadinya perubahan iklim.

Dalam studi baru yang diterbitkan diScience Advancesmenghubungkan penyakit ini dan pandemi lainnya di Kekaisaran Romawi dengan perubahan iklim. Secara khusus, penelitian ini menemukan periode cuaca dingin dan kering di Semenanjung Italia bertepatan dengan wabah penyakit besar di kekaisaran tersebut.

"Laporan menyatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan tekanan pada masyarakat Romawi yang mengakibatkan pandemi semacam itu. Kecocokannya sangat jelas," kata rekan penulis studi Karin Zonneveld, ahli mikropaleontologi di MARUM-Pusat Ilmu Lingkungan Kelautan di Universitas Bremen, Jerman.

Penelitian tersebut yang merupakan puncak dari upaya selama 10 tahun. "Hasilnya menunjukkan bagaimana perubahan iklim dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan bagi masyarakat yang tidak cukup kuat untuk menahan gejolak yang ditimbulkannya," kata para penulis penelitian.

Temuan-temuan tersebut bergema saat ini ketika dunia sedang menghadapi pemanasan global yang disebabkan oleh manusia. Hanya ada sedikit pengukuran suhu secara langsung yang dilakukan lebih awal dibandingkan beberapa ratus tahun yang lalu, sehingga para ilmuwan menggunakan metode tidak langsung yang disebut proksi untuk mengintip kembali sejarah iklim Bumi.

Proksinya dapat mencakup lingkaran pohon tahunan dan lapisan es yang mengendap seiring waktu di gletser dan tutup kutub. Namun belum ada penelitian mengenai lingkaran pohon yang menunjukkan iklim Italia pada masa Kekaisaran Romawi. Apalagi sebagian besar gletser berada di Pegunungan Alpen jauh di utara, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menentukan iklim di wilayah selatan.

Sampel Fosil

Akhirnya Zonneveld dan rekan-rekannya beralih ke rekor terbaik berikutnya yaitu fosil kista mirip cangkang dari mikroorganisme yang disebutdinoflagellata. Sampel ini diperoleh di sedimen dasar laut dari Teluk Taranto, Italia.

Ketika suhu laut menurun atau meningkat, spesiesdinoflagellatadi air laut purba juga berubah. Oleh karenanya para peneliti dapat menentukan perubahan iklim dari kista khas spesies tersebut untuk selanjutnya menganalisis fosil di berbagai lapisan sedimen oleh tim yang merekonstruksi iklim paleo (paleoclimate) di Italia selatan antara sekitar tahun 200 SM dan 600 M, dengan resolusi kira-kira tiga tahun.

Rekonstruksi menunjukkan bahwa periode dingin yang memiliki suhu rata-rata tiga derajat Celsius lebih rendah dibandingkan suhu tertinggi pada abad-abad sebelumnya selama beberapa dekade. Momen ini bertepatan dengan laporan Romawi mengenai pandemi besar yaitu "Wabah Antonine" yang terjadi sekitar 165 hingga 180 M.

Wabah lainnya adalah "Wabah Cyprian" yang terjadi sekitar 215 sampai 266 M, dan pandemi yang dimulai dengan Wabah Yustinianus, sekitar tahun 541 M hingga tahun 549 M. Wabah ini berlangsung hingga tahun 766 M.

Rekan penulis studi Kyle Harper, seorang sejarawan di Universitas Oklahoma dan penulis bukuThe Fate of Rome: Climate, Disease, and the End of an Empire, mengatakan bahwa pandemi ini tidak berasal langsung dari penurunan suhu tetapi tampaknya disebabkan oleh gangguan yang disebabkan oleh perubahan iklim dalam masyarakat Romawi.

Gangguan ini mencakup berkurangnya pasokan makanan dan maraknya serangan tikus, nyamuk, dan hama lainnya. "Ini tidak berarti pendinginan itu buruk," kata Harper. "Ketika terjadi perubahan iklim yang cepat, hal ini akan sangat mengganggu kestabilan menggeser ekosistem, dan mengganggu kestabilan masyarakat," imbuh dia.

Catatan proksi iklim dari wilayah lain menunjukkan suhu dingin yang terjadi bersifat global, kemungkinan disebabkan oleh serangkaian letusan gunung berapi besar-besaran. Namun penyebab flu yang terjadi bersamaan dengan "Wabah Antonine" dan "Wabah Cyprian" belum diketahui.

Di samping itu penyakit di balik wabah tersebut juga tidak diketahui. Zonneveld mengatakan fluktuasi iklim alami mungkin menjadi penyebabnya.

Sementara menurut sejarawan John Haldon dari Universitas Princeton, yang tidak terlibat dalam penelitian terbaru namun mempelajari dampak perubahan iklim terhadap sejarah, mengatakan bahwa penelitian tersebut dengan tepat mencatat korelasi antara perubahan iklim dan wabah penyakit tanpa menyatakan bahwa keduanya berhubungan langsung.

Dia juga mengatakan ini adalah contoh yang baik dari kerja sama sejarawan dan ilmuwan untuk menafsirkan bukti peristiwa masa lalu.

"Mereka dapat melihat pekerjaan satu sama lain dan melakukancross-check," kata Haldon. "Ada banyak verifikasi yang perlu dilakukan," imbuh dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top