Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

UU Antiterorisme

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Presiden Joko Widodo mendesak DPR segera menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan Presiden mengancam akan menerbitkan Perppu jika sampai Juni 2018 belum selesai.

Pemerintah menganggap UU Antiterorisme saat ini tidak memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme. Pemerintah merasa masih terkendala mencegah dan menindak mereka yang terlibat jaringan terorisme.

Lamanya pengesahan RUU Antiterorisme memang tengah menjadi sorotan pascaserangkaian aksi teror belakangan ini. Apalagi revisi UU Antiterorisme itu telah diusulkan pemerintah sejak 2016 setelah aksi teror bom di kawasan Thamrin.

Dua subtansi yang masih diperdebatkan yakni definisi terorisme dan pelibatan TNI. DPR ingin pemerintah membuat definisi terorisme. Sayangnya definisi terorisme usulan pemerintah belum mengakomodir rumusan dari berbagai lintas sektor penegak hukum. Tak hanya itu, rumusan pemerintah hanya mengatur sebagian dari tindak pidana yang dapat dikategorikan terorisme. Padahal pengaturan definisi terorisme itu penting sebagai parameter awal menentukan sebuah tindakan masuk kategori terorisme atau bukan. Dia juga untuk membedakan antara tindak pidana makar dan terorisme.

Misalnya, serangan seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai serangan terorisme. Kemudian tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan terorisme. Definisi terorisme itu juga sebagai alat membedakan serangan orang sakit jiwa dan normal.

Pemerintah memang enggan mengatur lebih rinci definisi terorisme karena khawatir membatasi ruang gerak aparat dalam menjerat pelaku tindak pidana terorisme. Pasal terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sempat menimbulkan perdebatan panjang. Masyarakat sipil menilai, pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat. Apalagi TNI tidak memiliki kewenangan menindak pelaku terorisme dalam ranah penegakan hukum.

Meski demikian, pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pasal pelibatan TNI diatur dalam UU Antiterorisme. Aturan detail soal mekanisme pelibatan TNI itu diserahkan kepada Presiden melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres). Perpres harus selesai paling lama setahun setelah UU disahkan.

Masih banyak substansi yang diperdebatan seperti penyadapan dalam Pasal 31, penebaran kebencian, penahanan pada Pasal 43A serta pencabutan kewarganegaraan Pasal 12b ayat 5. Pemerintah terkesan lebih fokus pada penindakan teroris semata. Padahal pemerintah dan DPR sudah sepakat, revisi UU ini harus berdasarkan semangat penegakan hukum, penghormatan HAM, dan pemberantasan terorisme.

Aksi terorisme sepekan ini memang sangat mengkhawatirkan. Korban berjatuhan baik aparat, masyarakat, maupun teroris itu sendiri. Aparat kesulitan mencegah. Payung hukum sekarang membuat aparat tak leluasa mencegah aksi teror. Tangan aparat seperti terborgol.

Kelemahan utama UU Terorisme sekarang tidak adanya poin pencegahan serta tidak ada rehabilitasi teroris usai menjalani hukuman. Selain itu, UU juga tidak mengakomodasi persoalan amaliyah dan ISIS. Padahal banyak warga Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk memperdalam kemampuan memegang senjata dan berjihad.

DPR memang sangat hati-hati memutuskan pasal-pasal yang masih diperdebatkan. Ini bukan hanya masalah HAM atau potensi digugat dan dibatalkan oleh MK, tapi juga terkait kepentingan Pemilu 2019.

Berbagai kalangan khawatir UU ini berpotensi digunakan untuk menghabisi lawan politik dalam rangka mempertahankan kekuasaan. RUU Terorisme bisa dijadikan alat untuk sembarangan menangkap orang dengan dalih pencegahan terorisme. Kita berharap RUU Terorisme disusun bukan hanya untuk merespons peristiwa yang belakangan terjadi. Aturan itu dibahas untuk mengantisipasi kejadian-kejadian berikutnya.

Komentar

Komentar
()

Top