Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Pinjaman I Peningkatan Utang BUMN Berdampak ke Anggaran Publik

Utang Publik Meningkat Pesat

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan – Litbang KJ/and - KJ
A   A   A   Pengaturan Font

» Patut disayangkan BUMN terus berutang, tapi tetap mendapat PMN, padahal labanya kecil.

» Tumpukan utang BUMN berpotensi jadi beban perekonomian, sehingga bisa terjadi debt trap.

JAKARTA - Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diingatkan agar mengakhiri kebiasaan berutang. Hal itu karena utang publik melonjak pesat dalam beberapa tahun terakhir, sedangkan pembiayaan dari penarikan pinjaman tersebut belum signifikan memberi kontribusi kepada negara untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang.

Ekonom Senior, Didik J Rachbini, dalam diskusi bertajuk Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang, di Jakarta, Rabu (24/3), mengatakan posisi utang pemerintah dan BUMN saat ini sudah mencapai sekitar 8.500 triliun rupiah. Sekitar 6.233,14 triliun rupiah di antaranya adalah utang pemerintah.

Menurut Didik, utang publik terdiri dari utang pemerintah pusat, utang BUMN (belum termasuk BUMN perbankan) dan utang pemerintah daerah. Jika utang BUMN perbankan dimasukan, maka total utang publik sekitar 11.774 triliun rupiah.

Dia memasukkan utang BUMN ke dalam kelompok utang publik karena risiko dari peningkatan utang perusahaan negara berdampak terhadap anggaran publik. "Pokok masalahnya adalah utang publik meningkat pesat hanya dalam waktu lima tahun," kata Didik.

Menurut data Kementerian BUMN, utang perusahaan milik negara pada periode Januari-September 2020 mencapai 1.682 triliun rupiah atau meningkat dibanding 2018 di posisi 1.251,7 triliun rupiah, dan pada 2019 sebesar 1.393 triliun rupiah.

Peningkatan itu, jelas Didik, patut disesalkan sebab laba BUMN dari 2016 hingga 2020 sangat sedikit. Tahun 2020 misalnya, tertinggi hanya PT BRI (Persero) Tbk dengan nilai 11,8 triliun rupiah. Lalu, disusul Bank Mandiri sebesar 9,9 triliun rupiah, Pertamina 8,5 triliun rupiah, PT Telekomunikasi Indonesia 8,0 triliun rupiah, dan BNI 2,3 triliun rupiah. Selebihnya hanya berkisar dua ratus hingga sembilan ratus miliar rupiah.

"Ini patut disayangkan, sebab di sisi lain BUMN berutang, tapi juga selalu mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN) setiap tahun 30-40 trilliun rupiah, namun laba yang disetor ke negara sedikit," tukas Didik.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef, Daniey A. Purwanto, mengatakan tumpukan utang BUMN, baik keuangan maupun nonkeuangan menciptakan beban bagi perekonomian saat ini dan akan datang, sehingga berpotensi terjadinya debt trap (jebakan utang).

Apalagi, restrukturisasi utang BUMN tidak saja menjadi beban yang semakin besar bagi APBN, namun juga mengandung risiko fiskal yang relatif lebih tinggi dampaknya dibandingan risiko yang lain seperti kerugian akibat bencana. "Alokasi anggaran untuk restrukturisasi BUMN, utamanya dalam alokasi pembiayaan pemulihan ekonomi menciptakan oppurtunity cost untuk penciptaan fiscal space untuk alokasi instrumen pemulihan ekonomi yang lain," ujar Daniey.

Bebani Milenial

Sementara itu, Peneliti Center of Industry, Trade and Investment, Indef, Dzulfian Syafrian, menegaskan jika tidak diantisipasi dari saat ini, maka peningkatan utang akan membebani generasi milenial, karena merekalah yang akan membayar utang di masa depan.

"Itu akan membebani generasi akan datang, sebab harus membayar dari kenaikan pajak mereka. Akibat membayar utang, tabungan dan konsumsi mereka berkurang," tegas Dzulfian.

Dia memperkirakan lebih dari 100 juta generasi milenial saat ini yang akan menanggung beban tersebut di kemudian hari karena tren utang Indonesia, baik publik maupun swasta terus meningkat. Selain itu, komposisi utang jangka panjang juga terus meningkat tajam.

"Ini yang saya mau katakan bahwa penumpukan utang, baik utang publik dan swasta, berpotensi besar merugikan para generasi milenial," katanya.

Dari Washington, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan telah melakukan diskusi awal tentang penggunaan alokasi Hak Penarikan Khusus (SDR, Special Drawing Rights) baru sebesar 650 miliar dollar AS untuk membantu meningkatkan pemulihan global dari pandemi.

Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, menyatakan alokasi SDR baru akan menguntungkan semua negara anggota dan mendukung pemulihan global dari krisis Covid. "Itu menjadi sinyal kuat dari tekad keanggotaan IMF untuk melakukan segala kemungkinan guna mengatasi resesi terburuk sejak Depresi Besar," kata Georgieva. n ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top