Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - Per November 2018, ULN Indonesia Tembus Rp5.257 Triliun

Utang Belum Signifikan Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Utang pemerintah Indonesia tercatat terus bertambah setiap tahun. Akan tetapi, pemanfaatan utang pemerintah yang mencapai 4.418 triliun rupiah pada 2018 tersebut dinilai belum produktif. Sebab, kenaikan utang negara terlihat belum signifikan mendorong indikator produktivitas nasional, seperti pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekspor.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi justru terjebak dalam stagnasi di level 5 persen dalam enam tahun terakhir. Sedangkan pertumbuhan ekspor juga kalah jauh dibandingkan dengan laju impor, sehingga defisit neraca perdagangan 2018 mencatat rekor terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

"Efek dari naiknya utang pemerintah sebesar 10,5 persen di 2018 dirasa belum signifikan mendorong indikator produktivitas ekonomi, misalnya pertumbuhan ekonomi masih berkisar 5,1 persen, dan pertumbuhan ekspor berada di 6,65 persen," papar ekonom Indef, Bhima Yudhistira, di Jakarta, Kamis (24/1).

Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh di kisaran 5,1 persen, lebih baik ketimbang tahun sebelumnya yang sebesar 5,07 persen. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih baik di kisaran 5-5,4 persen. Itu berarti pertumbuhan ekonomi masih belum mampu beranjak dari level 5 persen sejak 2013.

Di sisi lain, lanjut Bhima, faktanya tidak semua utang pemerintah digunakan untuk pengeluaran infrastruktur. Utang lebih banyak digunakan untuk membayar kewajiban bunga utang lama yang terus meningkat. "Tren belanja pegawai naik lebih tinggi yakni 40,5 persen dan belanja barang naik 80,9 persen dalam periode 2014-2018.

Sementara itu, belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur kenaikannya hanya 31,4 persen," ungkap Bhima. Menurut dia, pemerintah semestinya tidak hanya melihat efek jangka panjang dari pembangunan infrastruktur, tapi diharapkan juga bisa mengoptimalkan dampak utang dalam jangka pendek.

Postur belanja dari utang harus diefektifkan untuk pembangunan, bukan lebih banyak masuk ke pos belanja konsumtif. "Jika postur saat ini terus dibiarkan maka utang yang sudah masuk lampu kuning bisa berubah menjadi lampu merah," kata dia. Bhima menambahkan pemerintah semestinya merealokasi anggaran dari belanja pegawai dan belanja barang ke belanja modal.

Ini juga berlaku untuk dana transfer daerah yang banyak dihabiskan untuk belanja birokrasi, bukan untuk menstimulus sektor riil. "Dalam jangka pendek, pemerintah perlu pertimbangkan untuk mengubah postur pembiayaan SBN (Surat Berharga Negara) yang berbunga tinggi ke pinjaman dengan bunga rendah.

Sementara, porsi SBN ritel juga harus ditambah agar risiko fluktuasi kurs bisa dimitigasi," tukas dia. Saat ini, profil utang pemerintah didominasi oleh SBN, mencapai lebih dari 80 persen dari total utang 2018 yang sebesar 4.418,3 triliun rupiah.

Porsi SBN Denominasi Valas sendiri mencapai 22,9 persen dari total utang dan porsi pinjaman luar negeri sekitar 18,1 persen. Apabila utang luar negeri mesti dibayar dalam valas maka porsi utang pemerintah dalam mata uang asing pada 2018 sekitar 41 persen.

Posisi ULN

Sementara itu, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia periode akhir November 2018 mencapai 372,9 miliar dollar AS atau setara dengan 5.257,9 triliun rupiah pada kurs 14.100 rupiah per dollar AS. (Lihat Infografis) Direktur Eksekutif/Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Aida Budiman, menjelaskan saat ini BI memiliki kebijakan yang komprehensif dan konsisten untuk menjamin ULN itu aman dan terkendali.

"Karena ULN itu adalah bagian dari sumber pembiayaan dalam negeri. Seperti diceritakan current account itu kan masuk dalam financial account yang merupakan bagian aliran modal, nah di situ masuk ULN," kata Aida, Kamis.

Bhima menilai dari sisi pembiayaan utang sebenarnya masih rentan terkena risiko kenaikan bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dan fluktuasi kurs rupiah. Ini akan membuat beban bunga kian bengkak. "Di sisi lain, implikasi dari porsi SBN yang dominan membuat pemerintah harus membayar bunga lebih mahal, dengan bunga 8,1 persen untuk tenor 10 tahun," jelas dia.

Bunga surat utang Indonesia, lanjut Bhima, merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Pada 2018, realisasi bunga utang mencapai 258,1 triliun rupiah, atau 108,2 persen dari target. "Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," kata dia.

ahm/bud/WP

Penulis : Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top