Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Urgensi Mitigasi Bencana

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Joyakin Tampubolon

Tanggal 29 Juli 2081 gempa bermagnitudo 6,4 mengguncang Pulau Lombok. Belum dua bulan kemudian, pada 28 September pukul 18.02 WITA, gempa bermagnitudo 7,4 mengguncang Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, dengan kedalaman 11 km. Pusat gempa 26 km utara Donggala. Kabupaten Donggala dan Kota Palu mendapat terjangan tsunami dengan ketinggian 1,5 meter hingga 3 meter yang diperkirakan tiba pukul 18.22 WITA. Tsunami tersebut berakhir pukul 17.36 WITA.

Akibat gempa dan tsunami berkecepatan 800 kilometer per jam menimbulkan korban jiwa lebih dari 1.200. Sungguh memprihatinkan, sebab gempa dan terjangan tsunami pun berdampak pada sebagian besar rakyat yang kondisi ekonomi sosial tergolong menengah bawah.

Ribuan rumah rakyat hancur tinggal puing yang tidak lagi berguna. Hotel, toko swalayan, gedung, yang dibangun dengan beton kokoh pun roboh atau miring. Jembatan patah, roboh, dan hanyut. Jalan raya terputus. Badan jalan aspal terbelah.

Pusat gempa pukul 18.02 berasal dari jalur sesar/patahan Palu-Koro, 26 kilometer utara Kota Donggala. Sejarah mengisahkan, gempa di Palu sudah berulang kali. Menurut Mudrik Rahmawan Daryono, Peneliti Sesar Palu-Koro dari LIPI, gempa besar juga pernah melanda sesar Palu-Koro tahun 1828 berakibat ribuan orang meninggal. Gempa tahun 1909 juga menghancurkan desa-desa di Sulteng. Rumahrumah yang hancur ketika itu ditinggalkan penghuni. Gempa tahun 1909 di atas M 7.

Kota-kota Sulteng yang berada pada sesar Palu-Koro pernah mengalami gempa berulang, antara lain tahun 1905, 1909. 1968, 2005, 2006, 2012. Tim ekspedisi sesar Palu-Koro dari "Aksi Cepat Tanggap" menyimpulkan, dengan melihat catatan sejarah, tahun-tahun ini merupakan waktu bergeraknya sesar.

Ada siklus 130-an tahun yang dijadwalkan dapat menimbulkan gempa besar. Tapi, jika sesar sering-sering melepas energinya dalam magnitudo kecil justru lebih baik daripada dengan sesar yang lama tidak melepas energi. Ini bak efek ketapel yang ditarik panjang kemudian dilepaskan secara tiba-tiba.

Dengan demikian, posisi Kota Donggala dan Palu yang terletak pada "zona merah" gempa, berada pada sesar Palu- Koro. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah masuk zona merah peta rawan gempa bumi. Nomenklatur "zona merah" berarti wilayah tersebut rawan bencana. Sewaktu-waktu bisa terjadi gempa. Pada titik ini, tindakan mitigasi menjadi penting.

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi di terjemahkan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Jadi, UU No 24/2007 jelas menetapkan pemerintah bersama pemerintah daerah menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Ini berarti, kegiatan mitigasi daerah berada pada pemerintah daerah. Tapi masyarakat mengetahui, setidaknya 6 hingga 12 jam setelah gempa utama dan tsunami, pemerintah daerah (gubernur Sulteng dan wali kota Palu) sama sekali tidak bergerak. Masyarakat berada dalam kepanikan.

Ini seolah pemerintah berada dalam kevakuman akut. Apalagi listrik padam, sarana komunikasi telepon dan seluler terputus. Saluran air bersih terputus. Sesungguhnya, Donggala dan Kota Palu tidak hanya kesulitan memperoleh kebutuhan makan-minum, tapi juga dalam kegelapan, dan tanpa hubungan kontak dengan dunia luar. Donggala dan Palu terisolasi dengan suasana tidak menentu.

Kurang Diperhatikan

Hal ini membuat orang menilai tindakan mitigasi seolah tak diperhatikan di Sulteng, khususnya Donggala dan Palu. Padahal mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana. Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Di antaranya, membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan lentur gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat di rawan gempa.

Mitigasi terkait dengan kesiapsiagaan dan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana. Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain yang mungkin akan terjadi. Respons merupakan upaya meminimalkan bahaya akibat bencana.

Tahap ini berlangsung sesaat setelah bencana. Rencana penanggulangan bencana dilaksanakan dengan fokus pada upaya pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan. Indonesia belum melakukan, mengenal, apalagi memiliki informasi mitigasi skala nasional dengan informasi, data, peta yang kompleks. Wilayah seluas NKRI belum memungkinkan pembuatan mitigasi utuh skala nasional. Justru yang penting dan urgen sekali adalah informasi, data mitigasi bersifat spasial atau hanya mencakup provinsi, kabupaten, dan kota.

Hal ini akan lebih spesifik, sangat bagus karena memuat lebih detil. Mitigasi yang bagus mencakup wilayah satu kabupaten atau kota. Ini disertai konten data, gambar, peta, grafik serta analisis yang lengkap. Hasil mitigasi dengan kualifikasi ini, tak mungkin orang membangun permukiman relatif padat sepanjang pesisir pantai di Palu.

Melalui mitigasi, masyarakat berperan dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan. Ini termasuk dukungan psikososial, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana.

Tanpa mitigasi terjadilah penjarahan pada toko seperti di Palu. Barang yang diambil bukan hanya makanan dan minuman, tapi juga lainnya seperti sepatu. Sebagai catatan penutup, perlu diingat, setiap korban bencana berhak mendapat bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.

Baca Juga :
Balap Motor Jalanan

Keluarga miskin atau rentan akan sangat terancam kesulitan memulihkan kehidupan termasuk rumah dan harta benda lainnya ke arah normal setiap terkena bencana.

Penelitian menunjukkan, bencana menyebabkan pemiskinan. Dia juga menyebabkan siklus kerugian, perangkap kemiskinan, dan perlambatan upaya mengurangi kemiskinan (Shepard et al., 2013).

Penulis Widyaiswara Utama Kementerian Sosial

Komentar

Komentar
()

Top