
Uni Eropa Sepakat Longgarkan Sanksi
Kepala UNHCR, Filippo Grandi
Foto: AFP/IBRAHIM AMROBRUSSELS - Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE), Kaja Kallas, mengatakan ia memperkirakan blok tersebut pada Senin (27/1) akan menyepakati untuk mulai melonggarkan sanksi terhadap Suriah setelah penggulingan Bashar al-Assad.
“Ini adalah pendekatan selangkah demi selangkah,” kata Kallas pada awal pertemuan para Menteri Luar Negeri UE untuk membahas langkah tersebut di Brussels, Belgia.
Eropa ingin membantu rekonstruksi negara yang dilanda perang ini dan membangun jembatan dengan kepemimpinan baru setelah berakhirnya kekuasaan keluarga Assad selama lima dekade.
Namun beberapa negara UE khawatir akan bergerak terlalu cepat untuk merangkul para penguasa baru yang dipimpin oleh kelompok Islamis di Damaskus.
UE yang beranggotakan 27 negara menjatuhkan sanksi-sanksi yang luas terhadap pemerintah Assad dan ekonomi Suriah selama perang sipil.
Brussels mengatakan bahwa mereka sekarang bersedia untuk melonggarkan sanksi-sanksi dengan harapan pihak berwenang yang baru dapat memenuhi komitmen mereka untuk membentuk sebuah transisi yang inklusif.
“Jika mereka melakukan langkah-langkah yang benar, maka kami juga bersedia untuk melakukan langkah-langkah tersebut atas nama kami,” kata Kallas.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, mengatakan bahwa UE dapat memulai dengan menangguhkan sanksi-sanksi di sektor energi, transportasi, dan perbankan.
Para diplomat mengatakan bahwa UE hanya akan menangguhkan sanksi-sanksi tersebut dan tidak akan mencabutnya secara definitif untuk mempertahankan pengaruhnya atas kepemimpinan Suriah.
Pemimpin de facto Suriah yang baru, Ahmed al-Sharaa, dan kelompok Islamis yang dipimpinnya, Hayat Tahrir al-Sham, masih berada di bawah sanksi UE.
Para diplomat mengatakan masih belum ada diskusi tentang pencabutan sebutan itu, seperti yang dilakukan terhadap rezim Assad.
Laporan UNHCR
Sementara itu kepala badan pengungsi PBB, UNHCR, menyatakan bahwa hampir 30 persen dari jutaan pengungsi Suriah yang tinggal di negara-negara Timur Tengah, ingin kembali ke tanah airnya pada tahun 2026.
Perubahan tersebut didasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh PBB pada Januari, beberapa pekan setelah Assad digulingkan, yang mengakhiri perang saudara selama 13 tahun dan menciptakan salah satu krisis pengungsi terbesar di zaman modern.
"Akhirnya, kita melihat jarum jam bergerak, setelah bertahun-tahun mengalami kemerosotan," kata kepala UNHCR, Filippo Grandi, kepada sekelompok kecil wartawan di Damaskus, setelah mengadakan pertemuan dengan pemerintahan baru Suriah. “Sekitar 200.000 pengungsi Suriah telah kembali sejak Assad jatuh, kata Grandi.
Memulangkan sekitar enam juta warga Suriah yang melarikan diri ke luar negeri dan jutaan lainnya yang menjadi pengungsi di dalam negeri telah menjadi tujuan utama pemerintahan baru Suriah.
Agar warga Suriah bisa kembali, banyak di antara mereka yang sering menjual semua harta benda mereka untuk membayar perjalanan, sedangkan badan-badan PBB hanya menyediakan sejumlah bantuan tunai untuk transportasi dan akan membantu dengan makanan dan untuk membangun kembali setidaknya sebagian dari rumah-rumah yang hancur, kata Grandi, seraya menegaskan akan ada lebih banyak lagi warga Suriah yang pulang jika keadaan di tanah airnya terus membaik. AFP/ST/I-1
Berita Trending
- 1 Polresta Cirebon gencarkan patroli skala besar selama Ramadhan
- 2 Negara-negara Gagal Pecahkan Kebuntuan soal Tenggat Waktu Laporan Ikim PBB
- 3 Kota Nusantara Mendorong Investasi Daerah Sekitarnya
- 4 Ini Klasemen Liga 1 Setelah PSM Makassar Tundukkan Madura United
- 5 Pemerintah Kabupaten Bengkayang Mendorong Petani Karet untuk Bangkit Kembali
Berita Terkini
-
Perkuat Pasokan Gas Domestik, PGN Datangkan LNG dari Berau Kaltim
-
Aktivitas Publik Lumpuh Total Akibat Banjir di Bekasi
-
BMKG: Banjir di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi Adalah Banjir Kiriman
-
Pertandingan Persija Versus PSIS Digelar Sesuai Jadwal Meski Banjir Landa Bekasi
-
Kiat Saat Mendaki Gunung untuk Meminimalkan Peluang Alami Hipotermia