Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi | Per Maret 2022, Terjadi Kelebihan Kuota BBM Subsidi di 25 dari 34 Provinsi

Ubah Pola Distribusi BBM Subsidi

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan LPG bersubsidi perlu dilakukan dengan pola tertutup agar tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak. Ekonomi pasar tidak bisa diterapkan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, sehingga perlu strategi subsidi yang tepat sasaran.

Demikian disampaikan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, saat menjadi narasumber dalam diskusi Indonesia Business Forum dengan tema Subsidi BBM Membengkak, Penyimpangan Merajalela, Rakyat Menderita, akhir pekan lalu. Hadir pula dalam acara tersebut anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika, anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman, dan pengamat energi, Kurtubi.

"Apabila pola distribusi energi masih terbuka seperti ini, akan terjadi permasalahan yang berulang ke depannya. Perlu ide atau solusi untuk dilakukan distribusi secara tertutup," kata Satya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (23/4).

Data per Maret 2022, kata dia, telah terjadi kelebihan kuota BBM subsidi di 25 dari 34 provinsi. "Over kuota ini akan membebani keuangan negara sehingga perlu adanya langkah strategis untuk menyelesaikan masalah ini," katanya.

Satya juga mengatakan dengan disparitas tinggi antara harga minyak solar subsidi dan nonsubsidi yang mencapai 8.550 rupiah per liter maka tidak menutup kemungkinan banyak terjadi penyalahgunaan disebabkan pasokan yang terbatas, sedangkan permintaan tinggi.

Adapun penggunaan BBM subsidi sebenarnya sudah diatur yakni kendaraan bermotor perseorangan roda empat maksimal 60 liter per hari, sedangkan kendaraan angkutan orang atau barang roda enam atau lebih maksimal 200 liter per hari.

"Kelangkaan BBM bersubsidi ini menjadi tugas kita bersama. Saya tidak yakin BPH Migas bisa sendirian melakukan pemeriksaan ke seluruh SPBU di Indonesia dengan SDM yang terbatas. Oleh sebab itu, perlu adanya sistem terpadu dan melibatkan pemerintah daerah serta aparat hukum," ujar Satya.

Satya Widya juga menjelaskan saat ini sudah ada Perpres Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/ atau Darurat Energi. Sesuai beleid itu kondisi krisis terjadi apabila pasokan tidak terjamin, sedangkan apabila infrastruktur yang terkena misalnya terjadi kebakaran, maka menjadi darurat.

DEN pun telah melakukan beberapa rapat koordinasi dengan melibatkan Bareskrim Polri dan BIN yang bertujuan mencegah potensi krisis sekaligus menyosialisasikan Perpres 41/2016.

Transisi Energi

Sebelumnya, Chief Economist PT Danareksa (Persero), Rima Prama Artha, mengingatkan pemerintah untuk mempercepat transisi penggunaan energi bersih untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil di tengah peningkatan harga komoditas.

"Indonesia lebih baik bertransisi ke energi bersih selain itu bagus untuk climate change banyak hal yang Indonesia setujui dalam konsesi, itu juga bagus untuk mengurangi volatilitas dalam ekonomi," kata Rima, Kamis pekan lalu.

Indonesia saat ini telah memiliki sejumlah kebijakan terkait transisi energi seperti National Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi sesuai dengan Paris Agreement. Kemudian, grand strategi energi nasional untuk membangun infrastruktur energi nasional guna menjamin ketersediaan energi, kualitas yang baik, harga terjangkau, dan ramah lingkungan.

"Ada juga kebijakan mobil listrik, Bappenas juga punya LCD (Low Carbon Development) ada banyak, namun tinggal perlu dijaga ketika menghadapi krisis energi dan inflasi yang tinggi, alokasi dananya masih ada tidak untuk investasi ke arah sana," ucapnya.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top