Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tugas Suharso di PPP

A   A   A   Pengaturan Font

Suharso Monoarfa resmi ditetapkan sebagai pelaksana tugas atau Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang digelar di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor, Rabu (20/3) malam. Suharso Monoarfa menggantikan Romahurmuziy yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap jual beli jabatan di Kementerian Agama.

Keputusan Suharso menjadi Plt Ketum diputuskan hanya dalam waktu setengah jam rapat pleno. Rapat tersebut dihadiri oleh 33 dari 34 Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PPP seluruh Indonesia dan juga dihadiri 48 pengurus harian DPP PPP.

Berdasarkan ketentuan AD/ART partai, wakil ketua umum yang semestinya menggantikan ketua umum. Tetapi delapan Waketum PPP, yakni M Mardiono, Ermalena, Wardatul Asriah, Amir Uskara, Reni Marlinawati, Arwani Thomafi, Fernita Jubahar Amirsyah, dan Mansyur Kardi, menarik haknya. Sesuai Pasal 20 AD/ART, partai harus mengikuti dan menghormati keputusan majelis syariah.

Mahkamah Partai dan fatwa Majelis Syariah memberikan pertimbangan dan menyepakati menunjuk Suharso menjadi ketua umum. Pria kelahiran Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Dalam konteks tahun politik, kasus yang menjerat Romi tentu akan memiliki dampak elektoral yang sangat besar terhadap salah satu partai Islam ini, termasuk bagi koalisi pendukung pasangan capres-cawapres, Jokowi-Maruf di mana PPP tergabung di dalamnya. Sejarah menjadi bukti bahwa kasus korupsi yang menjerat elite suatu partai politik sangat mempengaruhi citra parpol di mata pemilih.

Partai Demokrat elektabilitasnya terjun bebas pada 2014 setelah serangkaian kasus korupsi menjerat para elite termasuk sang ketua umum, Anas Urbaningrum. Padahal pada Pemilu 2009, Demokrat adalah parpol dengan raihan suara terbanyak dan menjadi penguasa di parlemen.

Ditetapkannya Suharso Monoarfa sebagai pelaksana tugas atau Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Hotel Seruni, Cisarua, tentu bertujuan untuk mempercepat reorganisasi partai. Sayangnya, reputasi dan citra parpol tidak bisa dipulihkan dalam hitungan hari. Itu membutuh waktu berbulan-bulan bahkan tahunan.

Dalam beberapa survei beberapa lembaga, elektabilitas PPP bisa berada pada angka kritis untuk bisa tetap eksis di parlemen. Hasil survei Litbang Kompas, 22 Februari-5 Maret 2019, elektabilitas PPP berada di angka 2,7 persen dan menjadi salah satu dari tiga partai yang elektabilitasnya tak melewati ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Itulah tantangan terberat yang dihadapi Suharso Monoarfa ke depan. Konsolidasi dan rekonsiliasi menjadi penting. Sayangnya, internal PPP belum solid. Konflik dengan kubu Djan Faridz masih mengganjal. Di tengah persoalan internal itu, persoalan lain yang dihadapi adalah parpol ini dinilai gagal dalam mewadahi, mengawal serta mengadvokasi beragam persoalan keumatan yang mengemuka. PPP seperti kehilangan identitas sebagai Partai Islam. Basis perjuangan ideologinya makin tidak jelas. Akibatnya, ikatan pemilih dengan partai pun memudar. Stigma yang melekat pada PPP saat ini adalah partai orang-orang tua yang tergagap dengan perubahan.

Bila Suharso Monoarfa ingin parpol ini kembali menjadi parpol berpengaruh, mau tidak mau Suharso Monoarfa harus melakukan modernisasi partai. Jangan terus-menerus memilih cara pragmatis. PPP harus berkiprah nyata dalam beragam persoalan keseharian publik. Apalagi, PPP saat ini tidak memiliki figur di tingkat nasional. Padahal, figur itu adalah magnet kuat perubahan. Persoalan korupsi yang menimpa elite utama PPP di era sebelumnya dan sekarang ini telah mendegradasi muruah PPP sebagai Partai Islam yang harusnya mengutamakan nilai etika, moral, dan hukum dalam kiprahnya.

Suharso Monoarfa selaku nakhoda baru PPP memiliki tugas berat, yakni merosotnya reputasi politik PPP dan sengitnya rivalitas antarkekuatan di internal dan eksternal PPP. Pilihannya hanya dua yakni PPP harus bangkit dalam kemandirian atau terpuruk digerus perubahan.

Komentar

Komentar
()

Top