Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Limbah Batu Bara | FABA Jenis Limbah B3 Terbanyak Dihasilkan pada 2019

Transisi Energi Masih Setengah Hati

Foto : ISTIMEWA

Baru Bara

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Keputusan pemerintah menghapus limbah batu bara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3) dianggap mengancam masa depan transisi energi bersih (energi terbarukan). Pemerintah beralasan langkah itu untuk meningkatkan pemanfaatan. Namun, pegiat lingkungan menilai langkah tersebut berisiko tinggi.

Keputusan regulator menghapus limbah batu bara itu tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pegiat lingkungan mengendus, penetapan beleid ini tak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan tahun 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya.

Para pegiat lingkungan yang tergabung dalam gerakan Bersihkan Indonesia mendesak pemerintah mencabut kebijakan penghapusan FABA sebagai Limbah B3. Koalisi ini juga mendesak pemerintah segera beralih ke energi terbarukan, bukan justru terus memfasilitasi industri energi kotor.

"Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke hilir," tegas Andri Prasetiyo, Peneliti dan Pengkampanye Tren Asia, di Jakarta, Minggu (14/3).

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, menekankan dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 merupakan keputusan berbahaya. Batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun, termasuk logam berat dan radioaktif.

Ketika batu bara dibakar di pembangkit listrik maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya yakni abu terbang dan abu padat (FABA). Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan. Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik, dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar.

Banyak laporan dan fakta atas terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga di sekitar PLTU (pembangkit listrik tenaga uap batu bara). Seperti yang dialami warga dan petani di Mpanau Sulawesi Tengah, Cilacap Jawa Tengah, Indramayu dan Cirebon Jawa Barat, Celukan Bawang Bali.

Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, mendesak pemerintah mencabut aturan tersebut. "Mestinya utamakan keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat di atas kepentingam ekonomi dan bisnis," tegas Johan melalui keterangan tertulisnya.

Dalam laporan Analisis Timbulan dan Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia yang dikeluarkan oleh BAPPENAS disebutkan bahwa FABA termasuk dalam jenis limbah B3 terbanyak dihasilkan pada 2019. Bahkan, Bottom Ash masuk dalam kategori limbah dengan tingkat bahaya tertinggi dengan skor 13 (dari skala 14), sedangkan Fly Ash memiliki skor 11 (dari skala 14).

Syarat Ketat

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, menegaskan meskipun FABA dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah nonB3, namun persyaratan pengelolaannya tetap harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan.

"Misalnya, persyaratan teknis dan tata cara penimbunan FABA, persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA, sehingga precautionary principle untuk perlindungan lingkungan tetap menjadi kewajiban penghasil atau pengelola limbah," tukas dia.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top