Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengembangan EBT - Perpres 112/2022 Beri Ruang PLTU Beroperasi sampai 2050

Transisi Energi Hanya di Hilir

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah jangan melakukan transisi energi yang semu sebab baterai yang digunakan oleh kendaraan listrik bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Maksudnya, aktivitas industri pengolahan nikel yang akan menghasilkan baterai tersebut menggunakan PLTU berbahan bakar batu bara.

"Pemerintah hanya fokus transisi di hilirnya saja melalui kendaraan listrik tetapi di hulunya masih menggunakan energi kotor batu bara. Jadi,nantinya di Jakarta udaranya bersih tetapi di Morowali (lokasi smelter) udaranya kotor oleh PLTU," tandas Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, dalam diskusi terkait Polemik Transisi Energi Terbarukan dalam Perpres 112/2022 di Jakarta, Selasa (10/4).

Bhima mengatakan alasan ini yang membuat Tesla, pabrik kendaraan lisrik global mengurungkan niatnya berinvestasi di Indonesia. Pasalnya, supply chain-nya masih melibatkan energi kotor. Hal itu nantinya dapat mempersulit perusahaan mendapatkan pendanaan.

"Sebab salah satu syarat oleh lembaga lembaga kreditor ialah investasi itu harus memuat ESG (environmental/lingkungan, social, dan governance/ tata kelola yang baik). Jika tidak maka akan dikenakan bunga tinggi. Itulah yang membuat Tesla batal ke Indonesia," tegas Bhima.

Dia mengatakan, saat ini saja daftar pembangkit captive power plant dari batu bara di kawasan industri yang berkaitan dengan pengolahan nikel-bahan baku baterai sangat banyak. Itu misalnya di Delong Nickel Industrial Area, lalu di Weda Bay Industrial Park, kemudian Morowali Industrial Park dan di Kawasi Industrial Park.

Menariknya, lanjut Bhima, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang baru saja terbit, ada pengecualian bagi kawasan industri untuk membangun PLTU hingga 2050.

Tanpa menolak terbitnya aturan terkait percepatan energi terbarukan, dirinya menilai banyak isi di dalamnya yang janggal dan justru menimbulkan berbagai persoalan kontradiksi dengan upaya menuju pada target net zero emission pada 2060.

Bhima menduga terbitnya aturan ini berkaitan dengan proses pencairan dana JETP (Just Energy Transition Partnership) misalnya yang masuk dalam tahap negosiasi dengan Pemerintah. "Jadi terkesan aturan ini seolah ingin menyenangkan donor JETP, tapi tetap memberi ruang bagi pembangkit PLTU batu bara," ujar Bhima.

Dana JETP adalah sumber pendanaan yang diberikan negara G7 untuk mempercepat transisi energi dari ketergantungan pembangkit batu bara. Sebelumnya Afrika Selatan menerima dana JETP sebesar 8,5 miliar dollar AS atau setara 127,5 triliun rupiah (kurs saat ini) dan Indonesia merupakan kandidat potensial setelah Afrika Selatan.

Isi Kontradiktif

Direktur Kajian Energi Terbarukan Celios, Dzar Azhari mengatakan Pasal 3 angka 4 Perpres 112/2022 memberikan ruang bagi PLTU beroperasi sampai 2050 di kawasan industri, sangat kontradiktif dengan upaya mencapai transisi energi yang lebih bersih.

"Itu janggal sebab selama ini pemerintah mendorong industri yang lebih ramah lingkungan seperti ekosistem mobil listrik dan baterai, tetapi sumber listrik untuk produksi masih bersumber dari batu bara, jelas kurang konsisten," ungkapnya.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top