Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengembangan EBT - Ekosistem Kendaraan Listrik Masih Bergantung pada PLTU Batu Bara

Transisi Energi Alami Kemunduran

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kebergantungan terhadap bahan bakar fosil di dunia masih tinggi seiring tidak adanya keputusan konkret terkait transisi energi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di India beberapa waktu lalu. Kondisi ini menunjukkan langkah mundur dalam upaya transisi energi dunia yang juga akan berimbas ke dalam negeri.

Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai sampai saat ini kebergantungan pada energi fosil itu masih tinggi karena tidak adanya kesepahaman antara para pemimpin dunia.

"Kesamaan pandangan ini yang harus dirapatkan oleh pemimpin dunia untuk keluar dari jebakan bahan bakar fosil di mana buruk dampaknya seperti pencemaran udara," tegas Huda pada Koran Jakarta, Selasa (19/9).

Dirinya menambahkan tak adanya kesepakatan jelas dalam gelaran KTT G20 di India beberapa waktu lalu menjadi contoh tak adanya kesamaan pemikiran para pemimpin dunia soal transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT). Terlebih lagi, bahan bakar fosil, seperti batu bara dan minyak bumi ini mempunyai kekuatan sangat besar untuk memenuhi kebutuhan energi global disebabkan digunakan banyak negara.

"Maka cukup sulit untuk bisa mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil secara mendadak dan luas. Karena itu, harus ada sistem transisinya dan itu mulai dari kesamaan pemikiran pemimpin pemimpin dunia," ungkap Huda.

Seperti diketahui, gelombang unjuk rasa menuntut penghentian penggunaan energi fosil terjadi di 50 negara pekan lalu. Para pengunjuk rasa turun ke jalan menggelar demonstrasi menuntut dunia menghentikan pembakaran bahan bakar fosil yang memanaskan bumi.

Seperti dikutip dari The Straits Times, dalam satu tahun, banyak kematian dan kehancuran ekonomi akibat banjir, kebakaran hutan, serta kekeringan yang memecahkan rekor. Para pengunjuk rasa pun telah merencanakan lebih dari 500 pertemuan di 54 negara, dari Pakistan dan Nigeria hingga Amerika Serikat (AS).

Di New York, puluhan aktivis melakukan protes di luar kantor pusat manajer aset BlackRock dan Citibank masing-masing pada Rabu dan Kamis pekan lalu, menentang investasi perusahaan tersebut pada bahan bakar fosil.

Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia (ICRES), Surya Darma, mengatakan langkah nyata menghentikan penggunaan energi fosil memang harus secepatnya dilakukan agar dapat menekan polusi yang bisa memicu sejumlah penyakit.

Dipicu PLTU

Menurutnya, penyebab utama polusi Jakarta adalah karena provinsi tersebut dikepung pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara serta beban transportasi yang berbahan bakar fosil.

"Faktanya, Jakarta memang hampir seluruh kebutuhan listrik termasuk kawasan industri di sekitarnya baik yang disediakan PLN ataupun yang disediakan sendiri melalui captive power, seluruhnya berasal dari PLTU," ungkap Surya Darma.

Hal ini tentu saja akan menambah beban bagi Jakarta dengan emisi karbon yang makin berat bahkan pengalihan penggunaan kendaraan berbasis mesin dengan bahan bakar minyak (BBM) ke mobil listrik juga bukan solusi, selama listriknya masih tetap dari PLTU.

Peningkatan pemakaian listrik untuk charging station kendaraan tentu saja akan menambah beban emisi karbon ke udara. "Karena itu, pembenahan harus dilakukan secara konsisten pada keduanya yaitu pengalihan penggunaan listrik dari PLTU ke listrik energi terbarukan dan juga upaya penggunaannya mobil listrik secara bertahap," papar Surya Darma.

Sementara itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menghadiri puncak Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, Energi Baru Terbarukan (LIKE) 2023. Puan menekankan pentingnya membangun ekosistem energi baru terbarukan (EBT) guna memerangi krisis iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top