Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Adat Istiadat

Tradisi Sambut Ramadan di Jabar

Foto : FOTO-FOTO: KORAN JAKARTA/TEGUH RAHARDJO
A   A   A   Pengaturan Font

Datangnya Ramadan disambut suka cita kaum muslimin. Banyak cara untuk menunjukkan kegembiraan dalam menyambut datangnya Ramadan. Biasanya hal itu dilakukan secara turun temurun atau menjadi tradisi warga.

Tradisi mandi keramas, misalnya, yang dilakukan di sungai dilakukan puluhan warga. Atau makan bersama, dalam tradisi Sunda dinamakan botram yang dilakukan bersama keluarga, teman dan kerabat di lapangan terbuka. Bisa di alun-alun kota atau lokasi wisata.

Tradisi lainnya adalah berkunjung ke makam keluarga untuk mengirimkan doa yang disebut pula dengan Nadran atau Nyadran. Nah, ada banyak tradisi turun temurun yang dilakukan warga di Jawa Barat (Jabar) dalam menyambut Ramadan, demikian pula tahun ini.

Setiap Ramadan datang, ada hal yang ditunggu-tunggu warga Kota Bandung selain azan magrib, yaitu kehadiran Abah Geyot. Ia selalu hadir saat Ramadan di pusat-pusat keramaian. Tahun ini, Abah Geyot mangkal di sejumlah taman kota seperti di Taman Vanda dan Lapangan Gasibu, depan Gedung Sate.

Abah Geyot merupakan patung laki-laki setinggi sekitar 3 meter yang bertubuh gemuk. Ia selalu mengenakan baju takwa dan berselendangkan sarung. Tak lupa, Abah Geyot pun selalu berpeci.

Patung tersebut disebut Abah Geyot karena gerakan pinggulnya yang bergerak ke kanan dan ke kiri persis sedang bergoyang, atau dalam bahasa Sunda disebut ngageyot. Selagi ngageyot, tangannya sambil seolah-olah sedang menabuh beduk raksasa. Abah Geyot digerakkan secara mekanis dengan mesin.

Abah Geyot mulai hadir menyapa warga sejak 1990- an. Konon, patung itu mulai sering muncul ketika zaman Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi. Sejak saat itu, Abah Geyot selalu menemani warga saat ngabuburit.

Patung Abah Geyot tidak hanya terpasang di satu titik. Biasanya, ada 3-4 titik tersebar di seluruh penjuru kota. Dengan begitu masyarakat di Kota Bandung seluruhnya bisa disapa abah gendut yang nampak lucu itu.

Sejak hadir di Bandung pada 1990-an, Abah Geyot pun diduplikasi di berbagai daerah di Jabar, mulai Majalengka hingga Priangan Timur, seperti Ciamis, Banjar, dan Tasikmalaya. Abah Geyot pun menjadi semakin melegenda di masyarakat Tatar Parahyangan.

Saking dirindukannya, patung Abah Geyot selalu dicari jika telat datang saat Ramadan. Di Kota Bandung, ada masa-masa Abah Geyot tidak terpasang. Hal itu membuat warga bertanya-tanya, bahkan meminta kepada wali kota agar Abah Geyot didatangkan.

Hingga kini, Abah Geyot selalu jadi primadona ketika Ramadan tiba. Banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya untuk menyapa Abah Geyot. Tentu hanya sekadar melihatnya ngageyot sambil menabuh beduk. Abah Geyot telah mengisi kenangan warga Kota Bandung dari generasi ke generasi.

Tabuh Bedug dan Azan Pitu

Pada kesempatan yang sama, Keraton Kasepuhan akan menjadi magnet bagi warga untuk menghabiskan Ramadan. Selain banyak kegiatan, lokasi keraton juga menjadi lokasi ngabuburit warga sekaligus menjalankan ibadah di masjid Sang Cipta Rasa, yang masih dalam komplek keraton.

Menyambut datangnya bulan suci Ramadan, Keraton Kasepuhan Cirebon menggelar tradisi tabuh bedug. Suara bedug ditabuh terdengar dari halaman kompleks Keraton usai salat Ashar sehari sebelum datangnya waktu berpuasa.

Tradisi menabuh bedug sebagai tanda penyambut Ramadan itu bernama Dlugdag. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon. Sultan Kasepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, menjadi orang pertama yang menabuh bedug, yakni sebuah bedug tua yang bernama Samogiri peninggalan Sunan Gunung Djati.

Bedug ini dulu dipakai Wali Songo untuk menandakan datangnya waktu sholat lima waktu, awal puasa dan dipukul berkali-kali setiap malam takbiran sebagai penanda datangnya Idul Fitri, termasuk Idul Adha.

Setelah PRA Arief menabuh bedug Samogiri, keluarga keraton lainnya secara bergiliran ikut menabuh bedug. Beduk terus ditabuh hampir selama satu jam. Suaranya terdengar kencang beberapa kilometer dari keraton.

Selain sore hari, tradisi itu juga dilakukan pada dinihari di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Nah ada hal unik pula yang dilakukan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, di kawasan Keraton Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon itu. Setiap salat Jumat, lantunan azan tidak dilakukan hanya satu orang, melainkan tujuh orang sekaligus secara bersamaan, yang dikenal dengan tradisi azan pitu.

Ketujuh muazin atau juru azan sudah bersiap di saf atau barisan khusus yang berada di ruang utama Masjid Agung. Mereka mengenakan pakaian khusus. Enam orang muazin mengenakan jubah berwarna hijau dan sorban putih. Sedangkan satu orang berjubah putih dan bersorban hitam yang menjadi pemimpinnya. Jubah ini harus dikenakan setiap melantunkan azan pitu sebagai penanda dan pembeda dengan jemaah lainnya.

Meski dilakukan tujuh orang secara bersamaan, lantunan azan pitu tetap terdengar baik. Panjang pendek nada azan ke tujuh muazin azan pitu ini terdengar seirama.

Untuk diketahui, azan pitu pertama kali dilakukan pada zaman Sunan Gunung Jati, Syekh Syarif Hidayatullah. Tujuannya untuk mengusir wabah penyakit yang saat itu menyerang warga Cirebon. Saat ini tradisi itu tetap dijaga dengan baik, terlebih saat Ramadan. tgh/R-1

Membersihkan Makam Leluhur

Datang berziarah dan membersihkan makam selalu dilakukan warga menjelang Ramadan. Apalagi di makam sesepuh atau situs sejarah. Misalnya kegiatan ngikis di situs sejarah Ciung Wanara, Karangkamulyan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Tradisi ngikis digelar masyarakat sekitar situs Ciung Wanara untuk menyambut Ramadan atau munggahan. Tradisi itu biasanya digelar pada Senin atau Kamis terakhir bulan Sya'ban dalam perhitungan kalender Hijriah. Ngikis artinya membabat habis perbuatan tidak baik selama Ramadan.

Selama proses ngikis, lantunan zikir, salawat, dan kidung berisi pesan kepasrahan kepada Allah SWT terdengar menggema selama kegiatan berlangsung. Suasana khidmat dan sakral akan menyelimuti tempat digelarnya acara. Air yang bersumber dari berbagai mata air yang tersebar di Kabupaten Ciamis pun disatukan dalam acara ngikis.

Setidaknya dengan ngikis menjadi momentum bagi orang Jabar untuk mengingat dua hal. Pertama, sebagai refleksi sejarah. Kedua, sebagai ikhtiar manusia memelihara alam sekitar.

Situs Ciung Wanara memang terletak di dalam kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 25 hektare. Lokasinya tepat di pinggir Sungai Citanduy-Cimuntur yang menyimpan kisah Kerajaan Galuh pada masa lalu. Jadi selain tradisi menyambut Ramadan, situs ini menjadi daya tarik wisata setempat. Ramadan semakin ramai dengan kunjungan ziarah warga. tgh/R-1

Komentar

Komentar
()

Top