Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tolak Caleg Napi Korupsi

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Agus Riewanto

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah merancang Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota Legislatif. KPU mengusulkan mantan terpidana korupsi dilarang mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2019 mendatang. Larangan ini untuk mendorong pemilu yang lebih berintegritas dari sisi kandidatnya.

Selain itu, larangan juga untuk mendorong DPR, DPD, dan DPRD yang lebih bersih. Sikap KPU merupakan langkah progresif di tengah masih maraknya praktik korupsi di Indonesia. Namun, rancangan peraturan KPU tersebut belum disepakati bulat oleh pemerintah, DPR, dan Badan Pengawas Pemilu (Koran Jakarta, 31 Mei 2018).

Sesuai dengan tahapan, program, dan jadwal KPU,pendaftaran calon anggota DPR akan mulai diajukan partai politik pada tanggal 4-17 Juli 2018. Jadi, hanya tersedia beberapa pekan lagi sehingga harus diputuskan segera usulan ini.

Kehadiran rancangan PKPU tentang larangan caleg napi koruptor ini patut diapresasi tinggi mengingat pada setiap pemilu, selalu ada caleg yang berstatus hukum napi korupsi. Indonesia Corruption Watch merilis adanya 36 caleg DPR yang diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Setidaknya ada 10 caleg yang sempat bermasalah yang duduk di Komisi III. Sisanya, Komisi X (5 orang), Komisi VIII (4), Komisi I (3), Komisi VI (3), Komisi XI (3). Kemduian, Komisi VII (2 orang), Komisi II (1), Komisi IX (1). Selain itu, Ketua DPR (1 orang) dan Wakil Ketua DPR (1 orang).

Begitu juga caleg DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota yang diduga terlibat dalam aneka kasus tindak pidana, korupsi dana APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota dengan berbagai modus. Di antaranya, mulai dari proyek tender pengadaan barang dan jasa, bantuan sosial untuk masayarakat dan ormas sampai terlibat dalam jual-beli jabatan.

Sejumlah Caleg DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota itu di antaranya ada yang berstatus sebagai saksi yang tengah dimintai keterangan oleh penegak hukum baik KPK, Polri, maupun Kejaksaan. Berdasarkan fakta penyidikan, terutama keterangan saksi lain, tersangka maupun terdakwa tidak sedikit Anggota DPR 2009-2014 yang dulu masih berstatus sebagai saksi, sudah terindikasi kuat terlibat korupsi. Maka, penetapan sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana hanya menunggu waktu.

Mengawali proses pencalonan anggota DPR tahun 2018 ini momentum tepat untuk menyiapkan regulasi guna mencegah agar para napi koruptor tidak dapat masuk dalam gelanggang Pemilu Tahun 2019. Karena itu, rencana pengaturan melalui PKPU tentang larangan caleg napi koruptor patut diapresasi. Sudah seharusnnya hanya caleg yang bermartabatlah pantas dipilih rakyat.

Caleg yang bersih dari dugaan korupsi patut dipilih rakyat pada pemilu mendatang. Sebab jika para koruptor tetap terpilih kembali pada pemilu mendatang, maka sesungguhnya komposisi kursi di DPR dan DPRD tak akan mengalami perubahan signifikan. Itu berarti, para legislator mendatang adalah wajah lama dan bermental lama. Hanya mekanisme pemilihannya yang baru. Dengan begitu, hasil Pemilu 2019 mendatang hanya akan membuahkan komposisi kursi DPR dan DPRD yang tidak berubah.

Padahal jika berharap segera berakhirnya transisi demokrasi dan datangnya konsolidasi demokrasi yang kuat, maka Pemilu 2019 adalah kunci menuju pintu gerbangnya. Sebab para teoritisasi demokrasi mengatakan, konsololidasi demokrasi adalah kunci keberhasilan dalam menempatkan demokrasi sebagai the only one game dalam seluruh aktivitas sosial, politik, dan hukum. Tanpa ini, mustahil kesejahteraan akan dapat segera dirasakan rakyat.

Urgen

Jika gagal menempatkan Pemilu 2019 sebagai tahun konsolidasi demokrasi, aka pemilu hanya akan menjadi alat legitimasi perubahan dan sirkulasi kepemimpinan politik. Dia minus tujuan besar bagi kesahteraan dan kemakmuran rakyat karena pemilu hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin politik kerdil terhadap gagasan dan ide perubahan besar. Mustahil jika para koruptor masih terplih kembali dalam Pemilu 2019 akan dapat memiliki ide dan gagasan besar untuk kesejahteraan rakyatnya. Pasti mereka hanya akan disibukkan untuk memikirkan parpol, golongan, dan sanak familinya.

Di sinilah urgensitas pengaturan larangan caleg napi koruptor ini menjadi tak terbantahkan. Hanya, agar pengaturan larangan caleg dapat efektif dan tidak menimbulkan polemik hukum, sebaiknya memperoleh kesepakatan bersama pemangku kepentingan seperti pemerintah, DPR, dan Bawaslu. Sehingga tidak terkesan KPU menjadi institusi yang bekerja sendiri karena sesungguhnya KPU adalah bagian pemangku kepentingan dalam pemilu bersama-sama tiga pihak itu.

Selain diperlukan regulasi pelarangan tegas agar caleg napi korupsi dalam Pemilu 2019 mendatang, perlu segera menyiapkan pemilih kritis yang mampu menolak terhadap caleg dan politisi koruptor. Pemilu yang berhasil menolak caleg napi koruptor bukan hanya melalui peraturan, akan tetapi juga terkait dengan sikap kritis para pemilih.

Pemilih yang cerdas dan kritis memahami secara filosofis, sosiologis, dan psikologis arti penting suatu pemilu serta partisipasi publik dalam sistem demokrasi yang lebih dalam. Diperlukan upaya mendorong agar pemilih memiliki sikap kritis terhadap semua figur caleg yang diajukan parpol. Mengkritisi caleg ini dapat dimulai dari memahami latarbelakang, pendidikan, dan komitmen moral dalam membawa aspirasi publik. Ini juga bisa dilihat dari integiritas moral pribadi, ketulusan kerelaan, kejujuran, dan antikorupsi.

Penulis Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana UNS

Komentar

Komentar
()

Top