Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
WAWANCARA

Tian Belawati

Foto : Koran Jakarta/Wahyu AP
A   A   A   Pengaturan Font

Menyadari hal tersebut, setiap lembaga pendidikan tingkat universitas terus memperbaiki kampus mereka, baik universitas negeri maupun swasta. Selain untuk menarik perhatian dan minat calon mahasiswa juga menunjang kepintaran dan kecerdasan anak bangsa.

Hal itu pula yang dilakukan Universitas Terbuka (UT) yang dari waktu ke waktu berusaha memperbaiki image, kuantitas, dan kualitas pendidikannya. UT berupaya mengubah image dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat. UT bukan untuk orang tua, tapi untuk semua kalangan, karena UT punya berbagai program studi.

UT untuk, siapa saja yang merasa dia memerlukan fleksibilitas dalam belajarnya. Untuk mengetahui sistem pendidikan dan pemanfaatan teknologi yang dilakukan UT, wartawan Koran Jakarta, Frans Ekodhanto berkesempatan mewawancarai Rektor UT, Tian Belawati, di Jakarta, baru-baru ini. Berikut petikan selengkapnya.

Sejarah berdirinya UT itu seperti apa?

Pada 1970-an ada istilah baby boom. Banyak sekali lulusan SLTA yang tidak tertampung oleh perguruan tinggi. Dilihat dari demografi penduduk, banyak yang lulus SLTA (pada generasi sebelumnya), tidak bisa melanjutkan pendidikan, sehingga langsung kerja karena keadaan ekonomi.

Pemerintah melihat sumber daya manusia (SDM) harus ditingkatkan, sementara perguruan tinggi tidak mungkin menampung mereka. Untuk itu, perlu dicari terobosan agar ada perguruan tinggi yang sistem pembelajarannya bisa menampung banyak orang. Pemerintah pada saat itu membentuk tim, dan kemudian belajar dari negaranegara lain, kemudian ketemulah konsep universitas terbuka.

Konsep universita terbuka berupa model pembelajaran jarak jauh diadopsi dari Inggris. Setelah itu dibentuk tim, lalu dibuatlah konsep itu di Indonesia. Hingga pada 1984 diresmikan. Kemudian namanya dibuat UT.

Jika demikian cikal-bakal lahirnya UT, apa tugasnya?

Ada dua tugas utama. Pertama, menampung lulusan SLTA yang tidak tertampung oleh universitas lain. Kedua, memberikan kesempatan kedua bagi orang-orang yang dulu tidak bisa masuk universitas, mungkin karena keterbatasan ekonomi, karena tempat tinggalnya jauh dari kampus, tapi sekarang sudah terlanjur bekerja. Dengan adanya UT, mereka bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi.

Ketiga, untuk meningkatkan kualifikasi guru-guru yang waktu itu rata-rata lulusan sekolah pendidikan guru (SPG), supaya bisa bisa meningkat menjadi lulusan diploma dan sarjana. Tiga tugas utama UT dari pemerintah itu yang sampai sekarang kami pertahankan.

Apa yang membedakan UT dengan universitas lainnya?

Yang membedakannya adalah sistem pembelajaranya. Kalau kampus lain sistem pembelajarannya, mahasiswa datang ke kampus sesuai jadwal dengan sistem tatap muka. Kalau di UT, mahasiswa sistem pembelajarannya mandiri.

Maksudnya?

Sistem pembelajaran mandiri, jarak jauh. UT memfasilitasi mahasiswa dengan cara membuat bahan-bahan perkuliahan yang dikemas sedemikian rupa, sehingga bisa dipelajari dengan mandiri oleh mahasiswa. Kemudian, mahasiswa melakukan proses pembelajarannya sendiri.

Akan tetapi, mandiri bukan berarti sendiri. Mandiri boleh juga dengan teman, dengan tutor. Mandiri itu artinya memiliki inisiatif sendiri. Kemudian kalau mengalami kesulitan, dia juga memiliki inisiatif mencari bantuan. Nah, untuk itu UT juga menyediakan berbagai bantuan belajar yang kami sebut tutorial.

Tutorial seperti apa?

Dalam tutorial, mahasiswa bisa berkomunikasi dan berdialog dengan tutor, kayak asisten dosen, tapi bukan dosen. Tutorial ini, di UT ada yang tatap muka, datang ke lokasi dan waktu yang telah ditentukan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, tapi sistem utamanya yang online. Interaksinya juga secara online.

Kalau ujian bagaimana?

Mereka ujian ke lokasi-lokasi ujian. Sekarang, untuk memudahkan mahasiswa dan meningkatkan tingkat fleksibilitas, UT menawarkan ujian online. Hal itu sudah dilaksanakan sejak beberapa tahun yang lalu. Jadi, kalau mahasiswa mungkin sakit pas ujian yang jadwalnya tatap muka, kemudian ada mata kuliah bentrok, mereka bisa mengikuti ujian online. Jadi yang membedakannya adalah modus pembelajarannya.

Sebelum kemajuan teknologi seperti sekarang, bagaimana pembelajaran yang ditetapkan UT?

Sebelum mengalami perkembangan kemajuan teknologi, mahasiswa belajar melalui modul berupa bahan ajar cetak. Akan tetapi, desainnya dirancang agar bisa belajar secara mandiri. Kemudian, mahasiswa zaman dulu kalau tutorial hanya ada tatap muka, kemudian melalui radio seperti RRI dan televisi, seperti TVRI (zaman dulu).

Dengan kemajuan teknologi dan informasi, tutorial yang dulunya tatap muka sekarang jadi online. Bahan ajarnya dulu tercatat, sekarang jadi digital. Begitu juga dengan televisinya menggunakan TVRI sekarang menjadi TV UT, melalui Youtube ada chanel sendiri, chanel UT. Radionya juga ada radio UT yang dibuat juga di Youtube. Bukunya menjadi semacam e-book, tv-nya sekarang jadi berbasis internet, radionya menjadi online. Sekarang jadi online learning.

Begitu juga dengan registrasinya. Sekarang semuanya sudah memanfaatkan teknologi yang berbasi digital. Tapi kita tidak menghilangkan juga layanan yang sifatnya konvensional, karena masyarakat Indonesia dalam hal ini mahasiswa itu, juga banyak yang belum punya akses ke internet dan belum terbiasa dengan online.

UT itu ada di mana saja?

UT ada di semua provinsi, juga di luar negeri.

Lantas, bagaimana konsep dan teknisnya agar kuantitas dan kulaitas setiap daerah bisa setara?

Yang di daerah itu adalah kantor layanan mahasiswa, bukan untuk bahan ajar sendiri. Jadi, kantorkantor kami di daerah dan luar negeri itu adalah untuk melayani mahasiswa. Kalau yang belum bisa registrasi online bisa registrasi di kantor daerah. Mahasiswa yang belum ujian online, dia bisa ujian yang diselenggarakan oleh daerah.

Semua mahasiswa UT, bahan ajarnya sama. Itulah yang kami kembangkan di UT pusat. Sistem pembelajaran online-nya pun sama. Menggunakan platform yang sama, dan semuanya dikendalikan oleh pusat komputer di pusat. Begitu juga tutor-tutornya, juga dilatih sama.

Materi-materi inisiasi yang diberikan dalam tutorial online dan tatap muka itu semuanya sama. Jadi terstandar sekali materinya, baku. Ujiannya, di mana pun diselenggarakan, ujiannya sama. Soalnya belum tentu sama, tapi pararel. Karena kami memiliki bank soal yang koleksinya soal-soal yang paralel untuk semua mata kuliah. Kisi-kisi ujian sama sehingga mutu akademik itu standar di mana pun mahasiswa itu berada.

Kemudian, untuk setiap prosedur, di UT itu terstandar dan kami sudah tersertifikat ISO untuk berbagai kelompok management. Bagaimana cara menjawab, menyelenggarakan tutorial, merekrut, dan melatih tutor semuanya terstandar, sehingga kualitasnya semua baku.

Ada anggapan, UT sebagai kampus kelas dua. Apa yang Anda lakukan untuk mengubah paradigma miring semacam itu?

Kami berupaya mengubahnya. Dalam 8-10 tahun terakhir ini, kami melakukan sosialisasi ke masyarakat. Kami sampaikan bahwa UT itu bukan untuk orang tua, tapi untuk semua kalangan. UT itu bukan untuk guru saja, karena UT punya berbagai macam program studi. UT itu untuk semua orang yang memerlukan fleksibilitas dalam belajarnya.

Sosialisasi seperti apa dan di mana saja?

Kami sosialisasi ke SMA, pesantren, tempat umum dalam bentuk event. Ini dilakukan agar masyarakat tahu bahwa UT untuk semua kalangan dan umur. Bukan hanya kalangan ekonomi kelas bawah, tapi kalangan ekonomi menengah dan kelas atas dengan cara apa, memperlihatkan. Ini loh lulusan UT banyak juga dari kalangan ekonomi kelas menengah atas, dari kalangan selebritis, banyak juga dari kalangan orangorang yang sesungguhnya orang pikir tidak akan mungkin masuk UT. Mereka itu masuk UT. Jadi, demikian sedikit demi sedikit image yang miring terhadap UT itu berubah.

Kami terus memperbaiki sistem dan terus mengeksplor tentang teknologi apalagi yang bisa kami gunakan agar pembelajaran di UT itu menjadi nyaman, fleksibilitasnya tinggi dan mahasiswa menjadi merasa mudah belajar di UT. Hal itu terus kami lakukan dari tahun ke tahun, sehingga alhamdullilah, mahasiswa itu kalau mau belajar dari handphone atau smartphonenya saja.

Hal itu juga membantu mengubah image UT. Ternyata, UT itu universitas yang sangat modern atau kekinian. Kami juga terbantu dengan adanya perkembangan teknologi, karena hanya di UT bisa belajar dengan fully online. Nah, dengan kombinasi itu semua, saya rasa, image UT jadi berubah sedikit demi sedikit.

Sekarang perbandingan jumlah mahasiswa UT yang tua dan muda sudah seperti apa?

Sekarang jumlah dari mahasiswa UT 40 persen di bawah 30 tahun, bahkan sekarang sudah 60 persen di bawah 30 tahun. Sebanyak 25 persen lebih di bawah 25 tahun. Hal ini berarti mereka adalah usia anak kuliah. Jadi, saya rasa semuanya terjadi berkat perubahan image tadi dan berkat kami yang terus mengikuti perkembangan teknologi.

Kalau dosennya bagaimana?

Dosen UT terus kami up grade. Mereka juga harus mengikuti perkembangan teknologi. Kalau katakata saya, pantang dosen UT itu gagap teknologi (gaptek). Jadi kami tak boleh gaptek, wong kampusnya sendiri memanfaatkan teknologi, maka dosennya juga harus bisa. Sekarang, seluruh dosen UT sudah S-2. Untuk S-3-nya belum semua, tapi kami terus tingkatkan sebab kami punya target. Suatu waktu targetnya bisa terpenuhi yaitu dosen S-3 itu di atas 50 persen. Akan tetapi, sekarang belum. UT juga menyediakan beasiswa, di Dikti juga banyak. Jadi, menurut saya, dari segi biaya, saya rasa tidak ada masalah.

Jumlah dosen dan tutor di UT berapa?

Jumlah dosen UT itu sedikit, hanya 633 orang. Akan tetapi, kalau bicara tutor, kami punya banyak, yaitu di atas 22.000 tutor. Semuanya tersebar di seluruh daerah Indonesia.

Menghadapi banyak kendala, apa obsesi Anda membuat UT menjadi lebih berkualitas masih berjalan lambat, bahkan tertunda?

Kalau tertunda tidak, hanya kecepatannya tidak seperti yang saya inginkan yaitu mahasiswa UT bisa belajar secara online 100 persen. Tidak bisa seperti itu karena infrastruktur IT nasional belum bisa memenuhinya. Mereka tidak punya akses ke internet. Nah, itu adalah obsesi saya yang belum seratus persen tercapai. Tapi, peningkatannya luar biasa.

Waktu saya baru jadi rektor, mahasiswa UT yang belajar secara online jumlahnya tidak lebih dari 10.000 orang, sekarang sudah lebih dari 100.000 mahasiswa yang memfaatkan pembelajaran online UT. Saya ingin semua program di UT tersedia full online, itu juga belum 100 persen.

Sekarang itu yang full online baru program pascasarjana dan empat program studi di sarjana. Saya ingin semua bahan ajarnya digital interaktif, sekarang belum semua. Baru mata kuliah yang di pascasarjana. Untuk tahun ini dan tahun depan masih digarap untuk program S1.

N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top