Teuku Faisal Fathani : Indonesia Jadi Inisiator ISO Deteksi Longsor
Foto: Koran Jakarta/Eko Sugiarto PutroDi tengah masalah tersebut, sudah seharusnya muncul solusi. Di bidang kebencanaan Indonesia bisa berbangga karena mencatatkan diri sebagai negara berkembang yang menjadi inisiator International Organization for Standardization (ISO) deteksi dini longsor dan itu diakui dunia internasional.
Untuk mengetahui apa saja yang telah dan akan dilakukan Indonesia, khususnya Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam menghadapi longsor, wartawan Koran Jakarta, Eko Sugiarto Putro, berkesempatan mewawancarai dosen UGM penerima apresiasi Ikon Prestasi Pancasila, Teuku Faisal Fathani, di Yogyakarta, baru-baru ini. Berikut petikan selengkapnya.
Bagaimana masalah longsor di tingkat global?
Kalau bicara masalah longsor tergantung dari lempeng yang ada di dunia yang membentuk satu jalur patahan. Dunia mengenal ring of fire dimulai dari bagian barat Amerika, Selandia Baru, Kepulauan Pasifik, masuk Indonesia, ke Filipina, dan seterusnya.
Indonesia berada di lempeng besar dunia dan satu lempeng yang lebih kecil, sehingga Indonesia memiliki seismisitas tinggi. Itu membuat bentang alam kita, geomorfologi kita lebih berwarna. Pada satu sisi indah, tapi menyimpan potensi bencana.
Bagaimana pendekatan stakeholder terkait di luar negeri atas potensi bencana longsor?
Pendekatan mereka macam-macam, tapi community development-nya tidak sekuat kita. Bayangkan mengumpulkan warga di negara maju. Mereka sudah bayar pajak tinggi, tidak mau repot lagi. Itu jadi urusan pemerintah. Seperti kita gotong royong, mereka nggak mau. Mereka diurusi oleh sistem formal negara. Kerja keras membuat proteksi tebing.
Saya pernah enam bulan menjadi visiting profesor di Public Policy Center di The University of Iowa. Dari sana, saya mengenal sistem asuransi untuk menangani longsor dan bencana alam lain. Pemerintah Amerika memiliki data kuat soal risk assesment yang digunakan oleh perusahaan asuransi untuk menentukan premi. Jika berada di zona merah terhadap banjir dan longsor maka asuransi tidak mau nanggung. Jika zona orange, preminya mahal dan kuning atau hijau, premi lebih rendah lagi.
Bagaimana dengan Indonesia, mulai dari potensi bencananya?
Pertanyaan Anda adalah pertanyaan fundamental bagi deteksi dini risiko bencana, khususnya longsor yakni risk assessment dan analisis risikonya. Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng besar dunia, curah hujan tinggi dengan iklim tropis sehingga proses pelapukan mudah terjadi. Berkahnya, tanahnya subur, tapi di sisi lain menimbulkan bahaya.
Risk assesment di Indonesia sudah kuat, tapi penerapannya di lapangan yang masih kurang. Semua provinsi dan kabupaten/kota, sudah punya peta ancaman multi-bencana. Tinggal download di web BNPB, bisa diakses oleh siapa pun. Dari ancaman itu, kita harus memiliki strategi atau masterplan untuk melakukan kerja.
Pilihan kerja ada tiga yakni sebelum, saat, dan setelah bencana. Lalu ada prioritas. Ada 12 provinsi dan 122 kabupaten/kota yang menempati skala prioritas kita. Kemudian, budgeting serta implementasi program pengurangan risiko.
Apakah paradigma pengurangan risiko bencana semestinya menjadi piroritas?
Itu pertanyaan kunci. Kalau lihat di BNPB sudah ada kedeputian, deputi pencegahan, deputi pelatihan, sistem informasi, tanggap darurat, rehap rekon, logstik, dan sebagainya. Saya sebagai akademisi, fokus di pengurangan risiko bencana.
Dalam berbagai seminar, saya menggaungkan perubahan paradigma. Tahun 2011, di Palu, dana untuk pengurangan risiko bencana hanya 400 juta rupiah per tahun. Itu hanya cukup untuk sosialisasi dan biaya operasional kantor. Padahal, kalau terjadi bencana ada dana siap pakai, on call, sampai 2,5 miliar. Kalau tidak ada bencana itu tidak bisa dipakai.
Dari empat sisi penanganan bencana, yakni pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehap rekon. Selama ini untuk dua yang pertama, dananya masih kecil sedangkan dua terakhir besar. Perubahan paradigma yang saya dorong membuat keempat sisi itu besar dan dari irisan keempatnya dinamakan ketangguhan.
Perubahan paradigma itu dari fokus penanganan ke pencegahan. Kedua, dari single mandate menjadi tanggung jawab semua pihak. Dari fokus ancaman menjadi pada risiko. Saat ini terjadi gap antara pusat dan daerah. Pusat sudah jauh lebih baik karena usia BNPB sudah melewati satu dasawarsa. Di daerah BPPD, baru lahir. Maka salah satu yang kami lakukan adalah intervensi ke daerah untuk meningkatkan kapasital stakeholder lokal.
Ada istilah mitigasi struktural dan non-struktural, bisa dijelaskan?
Semua diawali dengan risk assessment, lalu proses analisis, budget, dan perhitungan elemen kerusakan, impact. Dari sana baru dipilih apakah mitigasi struktural atau non atau keduanya. Struktural itu mahal. Seperti pembuatan drainase, tiang pancang, pengendalian daerah banjir dan longsor. Sedangkan non-struktural lebih banyak membuat masyarakat siap siaga tanggap bencana.
Salah satu pendekatan non-struktural adalah sistem peringatan dini. Ini memang sama sekali tidak menghentikan bencana, tapi kalau terjadi bencana bisa diinformasikan ancamannya kepada masyarakat sehingga korban berkurang dan mereka bisa mengungsi di saat tepat.
Apa saja elemen sistem peringatan dini?
Sistem peringatan dini ada empat komponen utama. Pertama, risk assessment. Kedua, sosialisasi dan diseminasi. Ketiga, sistem peringatan dan warning service. Keempat, kemampuan masyarakat dalam merespons. Keempat komponen itu menjadi bagian dari ISO peringatan dini longsor. Ini ISO pertama yang diusulkan dari negara berkembang.
Kapan ISO Longsor diusulkan?
Tahun 2015 pertama kami usulkan. Lalu menghadapi serangkaian sidang di Bali, Heidenberg, Korea. Mulai di-publish pada Maret 2018 dengan nomor ISO 22327 tentang Guidelines for Implementation of Community-bases Langslide Early Warning System. Kalau di SNI memiliki nomor 8235 tahun 2017.
Anda pemegang paten early warning system, bisa diceritakan kaitannya dengan ISO ini?
Ini kisahnya panjang. Pada 2005, saya baru pulang dari Jepang. Sampai sini disuruh oleh Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal untuk membangun sistem peringatan dini di Banjarnegara dan Situbondo. Jepang sebenarnya punya alat peringatan dini, tapi harganya 4.000 dollar AS, padahal dikasih dananya cuma 150 juta rupiah.
Guru-guru saya di UGM bilang, kamu disekolahin jauh-jauh ke Jepang masak pulang cuma mau beli alat mereka? Jadi, tahun 2006, saya bekerja sama dengan Dwikorita Karnawati dan Djoko Legono, hingga terbentuklah generasi pertama sistem peringatan dini.
Setelah itu, ada world landside forum di Jepang. Wow ternyata alat kami yang saat peluncuran di Banjarnegara didatangi oleh banyak ahli dari berbagai negara, termasuk Tiongkok dan Jepang. Ini ternyata sudah dibuat oleh produsen Tiongkok dengan produksi 10 ribu unit. Pikiran saya waktu itu, ini bencana, everybody business, biarin saja, nanti di padang masyar saja semua urusan dihitung.
Tapi ternyata tidak seperti itu kalau di dunia intelektual. Ahli-ahli dari berbagai negara mendorong saya untuk membuat paten dan terus mengembangkan temuan. Maka UGM mendaftarkan patennya. Saat ini ada total lima paten dengan dua paten pertama kami buka bebas untuk publik.
Apakah teknologi peringatan dini di dunia tak semaju yang Anda bikin?
Jepang dan Italia maju. Tapi produk kami dengan kecanggihan yang sama harganya bisa murah. Jepang harganya sekitar 55 juta rupiah, di kami cuma 15 juta rupiah. Alat termahal kami 75 juta rupiah. Itu sudah seperti ratusan juta rupiah buatan luar negeri. Namun, kami juga punya alat yang harganya cuma 2,5 juta rupiah.
Analoginya, kami bisa bikin sepeda ontel, motor, hingga jet tempur, dari 2,5 juta rupiah hingga 75 juta rupiah. Rahasianya ada pada teknologi paten kami yang kompleks dalam satu alat. Produksi alatnya oleh UMKM di DIY dan Jateng sehingga bisa jauh lebih murah.
Alat hanya bagian kecil dari ISO. Dalam ISO 22327, selain ada alat peringatan dini juga ada tim siaga, peta evakuasi, SOP, diseminasi, risk assessment di awal. Indonesia yang mengatur sistem peringatan dini di dunia harus seperti yang kami bikin. Orientasinya tidak hanya alat, tapi juga kesiapan sistem di masyarakatnya, bagaimana komunitas tanggap bencananya.
Saya pasang di berbagai negara, seperti Timor Timor, Argentina, Myanmar, dan sebagainya. Mereka akan ikuti ISO bikinan kami. ISO ini bukan milik saya ya, ini milik badan ISO, hanya sayalah yang membawa standard yang telah kami uji dan dilakukan di Indonesia sebagai standar dunia. ISO mainan anak misalnya, semua negara harus ikuti bikinan negara maju. Nah, ISO longsor harus ikuti standar bikinan Indonesia.
Setelah ISO longsor sekarang saya disuruh bikin lagi ISO Multidisaster. Dengan nama ISO 22328-1. Strip 1 ini untuk tanda nanti akan muncul ISO early warning banjir, gunung api. BMKG sedang menguji untuk tsunami. Nanti semua ada serinya. Longsor yang bernomor tanpa strip, namun setelah lima tahun bisa ditinjau untuk bisa masuk ke 22328.
Apa keuntungan sebagai penyusun ISO dunia?
Keuntungan langsung tidak ada. Tapi ini berarti banyak bagi pergaulan dunia. Indonesia bisa intervensi dalam penanganan deteksi dini, di mana-mana di seluruh dunia. Memastikan standarnya memenuhi apa yang kami buat.
Artinya, di bidang kebencanaan alam sebenarnya komunitas intelektual kita lebih unggul dari negara lain di dunia?
Kepala BNPB, Syamsul Maarif, ketika itu pernah mengatakan ancaman bencana kita itu ada dua, yakni bencana alam dan ketergantungan pada sistem dan teknologi asing. Sehingga upaya kita ya harus menjawab dua-duanya.
Pada pidato pengukuhan guru besar saya pada tahun lalu, saya membuat judul, Penegakan Kedaulatan Teknologi Nasional di Bidang Kebencanaan.
Waktu awal pengembangannya, Dirut Pertamina pernah bilang bahwa alat inovasi UGM tentu saja masih ada kekurangannya, tapi kalau tidak digunakan, dikritik, diperbaiki performan-nya, bagaimana bisa berkembang? Kalau kita ke Korea, penduduk sana kalau tidak pakai produk mereka sendiri malah minder.
Di bidang lain, kita bisa dikatakan meniru sistem dan teknologi asing. Di kebencanaan kita relatif mandiri?
Sebenarnya yang paling penting, kalau ada bencana di mana pun itu kita datang tidak hanya membawa mi, tapi teknologi. Saya cita-citanya membuat teaching industri. Sudah kerja sama dengan Pemprov DIY. Bikin workshop GAMA-EWS.
N-3
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Gara-gara Perkawinan Sedarah, Monyet Salju Jepang di Australia akan Dimusnahkan
- 2 Mai Hang Food Festival Jadi Ajang Promosi Kuliner Lokal Labuan Bajo
- 3 Ini yang Dilakukan Pemkot Jaksel untuk Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok Jelang Natal
- 4 Prabowo Dinilai Tetap Komitmen Lanjutkan Pembangunan IKN
- 5 Kemendagri Minta Pemkab Bangka dan Pemkot Pangkalpinang Siapkan Anggaran Pilkada Ulang Lewat APBD
Berita Terkini
- Jaga Berat Badan Ternyata Bisa Kurangi Risiko Terkena Kanker Payudara
- Waspadalah! Mendengkur Ternyata Jadi Sinyal Bahaya Anak Alami Gangguan Tidur
- Simpanlah Kopi dengan Baik agar Aromanya Tetap Nikmat
- Ini Klasemen Grup B ASEAN Cup: Vietnam Memimpin dan Indonesia Kedua
- Ini Alasan Mengapa Seduh Kopi Lebih Baik Pakai Air Mineral yang Dididihkan