Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - APBN Tersandera Beban Bunga Obligasi Rekap

Terbebani BLBI, Pertumbuhan Berkualitas Sulit Terwujud

Foto : ANTARA/Sigid Kurniawan
A   A   A   Pengaturan Font

>>Selama negara bayar obligasi rekap, selama itu pula korupsi BLBI masih berlangsung.

>>Sangat tidak relevan jika pemerintah bandingkan rasio utang Indonesia dengan Jepang.

JAKARTA - Indonesia dinilai sulit mewujudkan pertumbuhan berkualitas yang bisa menyejahterakan seluruh rakyat karena anggaran pembangunan ekonomi kurang memadai.

Pasalnya, selama belasan tahun APBN tersandera oleh kewajiban bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga jatuh tempo pada tahun 2043.


Padahal, untuk membayar bunga obligasi rekap yang mencapai 80 triliun rupiah per tahun itu, pemerintah selama ini harus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang juga berbunga. Akumulasi beban bunga berbunga itu diperkirakan mencapai tidak kurang dari 5.000 triliun rupiah.


Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, mengemukakan beban utang BLBI benar-benar merusak keuangan negara karena membuat bangsa Indonesia terperosok dalam jebakan utang.


"Saat ini, untuk bayar bunga obligasi rekap saja pemerintah mesti terbitkan surat utang yang juga berbunga. Pemerintah belum bisa membayar atau mengurangi pokok utang.

Lama-lama, bayar bunga saja nggak sanggup. Padahal, era uang murah sudah berakhir, biaya utang jadi lebih mahal," papar Irsad, ketika dihubungi, Minggu (15/7).


Dia mengungkapkan utang obligasi rekap sejatinya hanya memperkaya debitur pengemplang BLBI, tetapi memiskinkan rakyat. Bahkan, jejak pendapatan bunga dari obligasi rekap pun telah disamarkan.

"Dalam laporan keuangan bank rekap hanya disebutkan pendapatan bunga, tidak dirinci penghasilan dari spread bunga kredit dan tabungan, serta bunga dari obligasi rekap," tukas Irsad.


Terkait dengan beban utang BLBI, mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Kwik Kian Gie, mengungkapkan berdasarkan penghitungan tim Bappenas, bunga obligasi rekap tidak kurang dari 5.000 triliun rupiah.


Saat menjelaskan tentang OR, Kwik kemudian mengutip hasil studi tiga staf sekretariat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati, dan Damayanti di tahun 2002 yang menggunakan model ekonometri dari tim Dana Moneter Internasional (IMF).


Disebutkan, dalam skenario terbaik kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktu maka kewajiban pemerintah mencapai 1.030 triliun rupiah, yaitu 430 triliun rupiah utang pokok dan 600 triliun rupiah berupa bunga. Itu jumlah minimum.


Namun, lanjut Kwik, dalam skenario terburuk kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dalam satu tenor yang sama dengan skenario pertama maka bunganya akan membengkak luar biasa besarnya. "Jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai 14.000 triliun rupiah," papar Kwik.


Terus berlangsung


Irsad menambahkan selama negara masih membayar bunga obligasi rekap, selama itu pula korupsi BLBI masih terus berlangsung. Di sisi lain, pemerintah cenderung hanya bisa menarik pajak dari rakyat dan mengundang investasi asing untuk membiayai pembangunan.


"Padahal, jika pajak banyak digunakan untuk terus bayar utang BLBI maka itu tidak adil bagi rakyat yang tidak menikmati utang tersebut," tegas dia.


Sedangkan investasi asing, lanjut Irsad, sejatinya bukan uang negara sendiri sehingga harus dikembalikan berikut dengan imbalannya.


Dengan beban utang seperti itu, menurut Irsad, tidak relevan jika pemerintah selalu menggunakan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang di bawah 30 persen, sebagai dalih bahwa utang masih aman.

Sebab dalam kondisi gali lubang tutup lubang, utang negara sebenarnya sudah sangat memberatkan.


Apalagi, imbuh dia, sangat tidak relevan pula jika pemerintah membandingkan dengan rasio utang Jepang yang sekitar 200 persen. "Jepang negara surplus, punya investasi dan piutang di mana-mana.

Bahkan, devisanya sekitar dua triliun dollar. Pendapatan per kapita Jepang sudah lebih dari 60 ribu dollar AS, kita baru sekitar 3.500 dollar AS," papar Irsad. ahm/YK/WP


Redaktur : Khairil Huda

Komentar

Komentar
()

Top