Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter I Suku Bunga Simpanan Valas di Indonesia Sudah Tidak Kompetitif

Tekanan untuk Menaikkan Suku Bunga Makin Kuat

Foto : Sumber: BI - KJ/AND/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Dengan inflasi yang tinggi dan negara lain sudah menaikkan bunga acuan, BI diminta melakukan penyesuaian.

» Bank masih mengeluh karena sulit menyalurkan pinjaman, sementara simpanan terus meningkat.

JAKARTA - Tingkat suku bunga di Indonesia dinilai sudah kurang menarik dibanding dengan yang ditawarkan negara-negara lain, termasuk negara tetangga seperti Singapura. Kurang atraktifnya suku bunga dalam negeri karena sektor keuangan di negara lain sudah menaikkan suku bunga mengikuti tingkat bunga acuan yang ditetapkan otoritas moneternya guna meredam lonjakan inflasi.

Seperti diketahui, bank-bank sentral global berlomba-lomba menaikkan suku bunga karena inflasi yang melampaui perkiraan sebelumnya. Kenaikan suku bunga itu dimaksudkan agar pemilik dana, tetap mempertahankan dananya dan tidak khawatir tergerus oleh inflasi.

Direktur Treasury & Capital Market CIMB Niaga, John Simon, seusai acara The Cooler Earth Sustainability Summit, di Jakarta, Rabu (21/9), mengakui kalau beberapa nasabah besar di bank sudah mempertanyakan suku bunga simpanan yang kurang menarik saat inflasi mulai merangkak. "Harus diakui, ada nasabah juga yang menanyakan suku bunga yang kita berikan untuk dananya tidak naik. Jadi, mereka memilih memindahkan lebih baik taruh di Singapura," kata John.

Menurut John, suku bunga deposito di Indonesia saat ini merupakan yang paling rendah berkisar 2-3 persen per bulan atau yang paling rendah dibanding sebelumnya yang pernah mencapai 6-7 persen.

"Dengan kondisi ekonomi global seperti saat ini yaitu inflasi yang tinggi, menurut saya, sudah saatnya melakukan penyesuaian," kata John.

Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, yang dihubungi terpisah, mengatakan kenaikan suku bunga acuan BI-7days Reverse Repo Rate sulit dihindari karena harus mempertimbangkan sebagian pemilik dana/modal yang lebih memilih menempatkan dananya di instrumen yang aman (save heaven) saat ada risiko ketidakpastian ekonomi seperti inflasi.

"Yang terjadi saat sekarang memang tidak mudah, kita berada pada situasi harus menghadapi masalah eksternal dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya internal," kata Bambang.

Kondisi itu kian diperberat dengan keberadaan variabel-variabel makroekonomi yang sifatnya memang simultan, sehingga kenaikan bunga acuan 25 basis poin ke level 3,75 persen memang tak dapat dihindari, bahkan sangat mungkin kembali naik ke level 4 persen.

"Cukup banyak variabel yang perlu dipertimbangkan, yang utama pertumbuhan dan inflasi. Dua variabel ini mewarnai perilaku variabel-variabel lainnya, termasuk pergerakan simpanan masyarakat di bank dalam negeri. Dalam kondisi saat ini, kekhawatiran akan berpindahnya aliran dana keluar negeri sepertinya probabilitasnya kecil. Masyarakat yang jeli tentu lebih mempertimbangkan save heaven (dollar AS-red), dan emas yang jadi idola," tuturnya.

Diminta terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan BI sebaiknya mulai menaikkan suku bungan acuan karena agresivitas dari bank sentral AS menaikan Fed Fund Rate (FFR) yang bisa memicu pelarian modal asing dari Indonesia ke luar negeri.

Di bank kalau simpanan valas masih relatif rendah dibanding negara lain yang sudah naik bunga simpanannya, otomatis akan terjadi perpindahan. "BI idealnya harus menaikkan bila perlu 50 basis poin, sehingga secara cepat ditransmisikan ke perbankan untuk menaikkan suku bunga simpanannya meskipun ekses yang perlu juga diperhatikan ialah suku bunga pinjaman yang naik juga itu akan menurunkan laju pertumbuhan kredit dan meningkatkan risiko kredit macet.

Perbanyak Insentif

Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Y Susilo, mengatakan sulit bagi BI untuk tidak mengikuti langkah The Fed. Meski capital outflow tidak terlalu dikhawatirkan karena likuiditas perbankan Tanah Air saat ini berlimpah imbas dari kuatnya tabungan retail di Tanah Air.

"Concern utama saya malah tertahannya pertumbuhan ekonomi, jadi yang penting bagaimana memperbanyak insentif, kemudahan bisnis, perizinan, agar likuiditas di perbankan bisa terserap di pasar," kata Susilo.

Perbankan maupun BPR di Yogyakarta, kata Susilo, mengeluh karena target kredit sulit tercapai sementara deposito meningkat sangat pesat.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top