Tata Niaga Harus Lebih Menguntungkan Para Petani
HASIL PANEN I Petani membersihkan gabah hasil panen menggunakan mesin kipas rontongan manual di Dusun Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, belum lama ini.
Foto: ANTARA/ADENG BUSTOMIJAKARTA - Kenaikan harga pangan global selama masa pandemi Covid-19 seharusnya sudah diantisipasi dari awal dengan memperkuat cadangan produksi nasional. Dalam memperkuat cadangan tersebut, maka petani sebagai pelaku utama harus mendapat perhatian dari pemerintah agar mereka lebih optimal mengupayakan produksi mencapai target bahkan melampaui.
Pakar Pertanian dari Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura, Ihsannudin, yang diminta pendapatnya, Minggu (14/3), mengatakan potensi krisis akibat kenaikan harga pangan global menjadi pelajaran agar pemerintah memperhatikan kemandirian pangan demi "security food".
"Ini menunjukkan betapa security food seharusnya digarap serius mulai dulu bukan hanya slogan. Kini terasa ketika ada kondisi shock yang menyebabkan kita tergagap," kata Ihsannudin.
Dengan kondisi seperti itu, keberpihakan pada sektor pertanian dalam sistem agribisnis menjadi mutlak. Upaya mendorong insentif terhadap sektor pertanian memang baik, namun harus dibarengi upaya pemerintah mengatur tata niaga yang fair dan jauh dari pengaruh "invisible hand".
"Jangan sampai komoditas pertanian melimpah dalam jumlah produksi, namun tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi petani yang menjadi pemeran penting dalam security food ini," pungkasnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Gerakan Petani Nusantara (GPN), Suryo Wiyono, mengatakan, saat ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan. "Harus perkuat sistem pangan kita, terutama pangan pokok atau beras," katanya.
Menurut Suryo, sistem produksi oleh petani harus diperkuat dengan pendampingan yang terarah dengan tetap mengedepankan pertanian ekologis yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Pemerintah, katanya, perlu memfasilitasi petani pascapanen terutama pengeringan gabah, jangan hanya saat awal produksi saja. Sebab, kondisi pascapanen juga menjadi krusial karena bisa saja pada momen itu banyak yang kehilangan hasil pertanian.
Untuk pengadaan, dia menegaskan, pemerintah harus memprioritaskan beras hasil produksi petani sendiri. Jangan malah mengeluarkan kebijakan impor beras sejuta ton saat musim panen. "Mestinya beras petani diutamakan, bukan beras impor," kata Suryo.
Untuk mengoptimalkan produksi padi, maka penggunaan teknologi harus lebih masif agar bisa menekan pengeluaran petani dan tidak terus menerus merugi.
Sebelumnya, Ekonom dari Rabobank menyatakan harga komoditas pertanian global meroket 50 persen sejak pertengahan 2020. Kenaikan harga gandum, jagung, kedelai, gula, dan berbagai komoditas lainnya disebabkan kondisi La Niña di belahan utara dunia, mata uang Amerika Serikat (AS) yang melemah, spekulan pasar, dan meningkatnya permintaan dari negara-negara pengimpor. n SB/ers/E-9
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Usut Tuntas, Kejari Maluku Tenggara Sita 37 Dokumen Dugaan Korupsi Dana Hibah
- 2 Satu Dekade Transformasi, BPJS Ketenagakerjaan Torehkan Capaian Positif
- 3 Pengamat: Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Dieksploitasi "Pemain" Judol
- 4 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 5 KPI Minta Siaran Lagu ‘Indonesia Raya’ di Televisi dan Radio Digalakkan
Berita Terkini
- Dalam Kegelapan, Satu Ton Garam Dapur Ditebar di Langit Madura
- Tahun Depan, Industri Pelayaran Nasional Masih Hadapi Semjumlah Tantangan
- Dorong Industru Hijau, Gisco dan Selasih Diluncurkan di Gelaran AIGIS 2025
- Angkutan Barang Dibatasi
- Investor Akan Cermati Hasil Rapat FOMC, Berikut Ini Prediksi Kurs Rupiah