Tarif Pajak Karbon Terlalu Murah
FABBY TUMIWA Direktur Eksekutif IESR - Jadi, kalau dibanding harga yang ditetapkan pemerintah selisihnya jauh. Itu tidak efektif, sehingga harus ada angka yang optimal agar benarbenar menghasilkan perubahan.
Foto: ISTIMEWA» Angka yang ditetapkan pemerintah tidak efektif, harus ada angka optimal agar benar-benar menghasilkan perubahan.
» Implementasi perdagangan karbon dilakukan secara penuh pada 2025 mendatang.
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan pajak karbon sebesar 30 rupiah per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Tarif pajak yang efektif berlaku secara bertahap mulai 1 April 2022 itu dinilai terlalu murah, sehingga dikhawatirkan tidak mendorong para pelaku usaha menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Jumat (8/10), mengatakan dengan disinsentif seharga 30 rupiah per kilogram (kg) atau 30 ribu rupiah per ton terlalu murah bagi pelaku usaha. Jika tarif terlalu murah, pebisnis enggan mengubah perilaku mengurangi GRK dan beralih berinvestasi ke teknologi rendah karbon.
"Dari UU tersebut harga ini mengacu pada harga di pasar karbon, dan bisa naik kalau harga di pasar karbon lebih tinggi dari 30 ribu rupiah per ton, tapi angka itu terlalu murah," kata Fabby.
Menurut dia, kalau rekomendasi Bank Dunia berkisar 35-40 dollar AS per ton. Tiongkok sendiri ketika memulai memberlakukan perdagangan emisi untuk pembangkit listrik harganya ditetapkan 6,9 dollar AS per ton dan ditargetkan naik menjadi 15 dollar AS per ton pada 2030.
"Kenaikan harga ini dilakukan dengan memperketat emission allowance untuk sektor yang akan dikenakan pajak karbon tersebut. Jadi, kalau dibanding harga yang ditetapkan pemerintah selisihnya jauh. Itu tidak efektif, sehingga harus ada angka yang optimal agar benar-benar menghasilkan perubahan," tandas Fabby.
Selain tarif, waktu pelaksanaan pada April 2022 juga terlalu ambisius. Masih banyak yang harus dilakukan setelah UU disahkan DPR, akan ada penandatanganan UU oleh Presiden. Setelah itu, Kemenkeu harus menyusun peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan.
Kemudian, dilakukan sinkronisasi aturan melalui Rencana Peraturan Presiden Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna menyusun skema mekanisme perdagangan emisi (ETS) dan pajak karbon, sambil susun peta jalan (roadmap). Setelah roadmap jadi, harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Secara terpisah, pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan pajak karbon diharapkan mendorong pebisnis berpartisipasi mengejar target zero carbon yang telah ditetapkan.
"Pengusaha harus menekan emisi karbon karena berdampak negatif terhadap lingkungan," kata Andy.
Memulihkan Lingkungan
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan penetapan pajak karbon per 1 April 2022 akan mengikuti peta jalan bidang karbon yang berhubungan dengan perubahan iklim.
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur mengenai pengenaan pajak baru berupa pajak karbon dimaksudkan untuk memulihkan lingkungan sebagai bagian dari komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menambahkan, setelah tahap awal pengembangan mekanisme perdagangan karbon, maka selanjutnya pada 2022-2024 akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara berdasarkan mekanisme pajak batas emisi atau cap and tax.
Untuk 2025 dan seterusnya implementasi perdagangan karbon dilakukan secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait. Hal itu dilakukan dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan atau skala.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie, mengatakan roadmap pajak karbon berisi strategi penurunan emisi karbon nasional dengan sasaran sektor prioritas serta memperhatikan pembangunan energi baru terbarukan (EBT) dan keselarasan berbagai kebijakan.
"Roadmap juga harus berisikan transformasi energi nasional berbasis energi bersih," katanya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Tiongkok Temukan Padi Abadi, Tanam Sekali Panen 8 Kali
- 2 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 3 Ratusan Pemantau Pemilu Asing Tertarik Lihat Langsung Persaingan Luluk-Khofifah-Risma
- 4 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online
- 5 Kasad Hadiri Penutupan Lomba Tembak AARM Ke-32 di Filipina