Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelompokan Negara I RI Butuh Keajaiban untuk Jadi Negara Berpendapatan Tinggi

Tanpa Reformasi Struktural RI Hanya Tunggu Keajaiban

Foto : JAY DIRECTO/AFP

Lebih sulit I Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill mengatakan, masa depan akan lebih sulit bagi Indonesia, negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara.

A   A   A   Pengaturan Font

» Sejak 1970-an, pendapatan per kapita di banyak negara berpendapatan menengah mengalami stagnasi.

» Pemerintah malah menalangi utang perampok BLBI yang sampai kini tidak ditagih, bahkan mereka dijadikan kroni.

JAKARTA - Impian yang selalu dibangun pemerintah kalau Indonesia akan menjadi negara maju pada 2045 mendatang sepertinya akan buyar. Buyarnya impian itu setelah Bank Dunia mengeluarkan pernyataan kalau Indonesia butuh keajaiban untuk menjadi negara dengan perekonomian berpendapatan tinggi pada tahun 2045 atau hanya beberapa dekade ke depan, bukan abad. Seperti dikutip dari The Star, pemerintah merencanakan mencapai target tersebut tepat pada peringatan seratus tahun Kemerdekaan Indonesia.

Untuk mencapai itu diperlukan pertumbuhan produk domestik bruto tahunan sebesar enam hingga tujuh persen selama 20 tahun ke depan. "Agar negara-negara berpendapatan menengah bisa memiliki pendapatan tinggi dalam beberapa dekade, bukan abad, diperlukan sebuah keajaiban," kata Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill, dalam sebuah seminar bertajuk Pembangunan Ekonomi Asean dan Perangkap Pendapatan Menengah, di Jakarta, awal pekan ini.

Meskipun mengakui pertumbuhan ekonomi yang kuat di Indonesia, Gill menekankan bahwa masa depan akan lebih sulit bagi negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara. Laporan Pembangunan Dunia 2024 dari Bank Dunia yang bertajuk Middle Income Trap yang diterbitkan bulan lalu, menyebutkan sejak 1970-an, pendapatan per kapita di banyak negara berpendapatan menengah mengalami stagnasi di bawah level Amerika Serikat (AS).

Laporan tersebut menemukan bahwa ketika negara-negara menjadi lebih kaya, mereka biasanya terjebak dalam 'perangkap' yaitu sekitar 10 persen dari PDB tahunan AS per kapita atau setara dengan 8.000 dollar AS untuk saat ini. Dari sejumlah kecil negara yang berhasil mencapai status berpendapatan tinggi sejak tahun 1990, lebih dari sepertiganya merupakan penerima manfaat dari integrasi ke dalam Uni Eropa atau dari minyak yang belum ditemukan sebelumnya.

Menanggapi pernyataan perlunya keajaiban bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Maruf, mempertanyakan sikap Bank Dunia. Selama ini Bank Dunia memberi angin surga, tetapi pada akhirnya menyampaikan kondisi yang sesungguhnya. "Bank Dunia harusnya sudah menyampaikan hal ini belasan tahun lalu. Kita diberi angin surga, dipoles seakan- akan kita menuju negara maju.

Kita sendiri tidak ada yang membangun fondasi untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah. Tanpa reformasi struktural seperti reformasi fiskal, reformasi kemandirian pangan, reformasi industri, dan reformasi sumber daya manusia, hanya keajaiban yang bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah," kata Maruf. Adapun kelompok kelas menengah, menurut standar Bank Dunia 2024, mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar 2.040.262 hingga 9.909.844 rupiah per kapita per bulan pada 2024.

Menurut Maruf, standar BPS dengan pengeluaran dua juta rupiah per kapita per bulan bukan sebagai penghasilan kelas menengah, tetapi miskin. "Itu bukan penghasilan kelas menengah, itu miskin. Kelas menengah seharusnya memiliki daya beli yang lebih dari sekadar bertahan hidup," tegas Maruf.

Impor Pangan

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia tidak mungkin seperti sekarang ini, terus bergantung pada negara luar untuk memenuhi pangan. "Impor pangan itu basisnya dollar AS. Untuk membeli gandum, kedelai, susu, dan daging sapi semuanya impor, semuanya menggunakan dollar AS. Kalau pendapatan kita rupiah, tapi kebutuhan makan kita dalam dollar, bagaimana kita bisa lepas dari perangkap kemiskinan.

Bank Dunia benar memang perlu keajaiban bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah," katanya. Hal itu terjadi karena semua industri dalam negeri dimatikan demi rent seeking. Praktik seperti itu membuat industri lokal sulit bersaing, karena kepentingan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada pengembangan industri dalam negeri. Ini adalah salah satu penyebab utama mengapa ekonomi Indonesia sulit beranjak dari status menengah.

Di saat yang sama, menurut Maruf, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah utang. "Bunga utang saja sudah sulit dikejar, apalagi membayar pokok utangnya," jelas Maruf. Saat ini, utang Indonesia sudah mencapai lebih dari 500 miliar dollar AS dan hanya untuk membayar bunganya saja, Pemerintah harus kembali berutang. "Utang dipakai untuk konsumsi dan membayar utang, bukan untuk pengembangan sektor produktif seperti pertanian atau pangan," katanya.

Talangi Perampok BLBI Pemerintah, jelasnya, malah menalangi utang perampok Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai kini tidak ditagih, bahkan mereka dijadikan kroni. Hasil devisa yang didapat para kroni itu malah dibawa lari ke luar negeri. Menteri Keuangan sendiri tidak menggunakan hak tagih, padahal ada MRNIA dan MSAA. "Selama ini, wacana yang dibangun seolah-olah itu biaya krisis perbankan, padahal yang terjadi sesungguhnya itu adalah kejahatan perbankan. Pelanggaran pidana dengan MRNIA dan MSAA tidak ditagih," katanya. Sementara itu, industri dalam negeri dibiarkan sehingga tidak bisa bersaing dengan Tiongkok untuk mendapat devisa.

"Kita banggakan Shopee dan Tokopedia, padahal itu sumber habisnya devisa Indonesia, karena barang yang mereka jual dari luar negeri semua, terutama Tiongkok," katanya. Indonesia, jelas Maruf, bukannya tidak bisa keluar dari middle income trap, tapi tidak mau. Solusi Bank Dunia 3I (investasi, infusi, dan inovasi) dinilai tidak relevan karena Indonesia berbeda dengan Korea Selatan yang saat krisis juga menjadi pasien Bank Dunia. "Obat Bank Dunia pun tidak ada gunanya. Kita bukan sekutu AS.

Korea, Taiwan, Jepang, Singapura itu sekutu AS, sekutu strategis. Kita hanya konsumen," katanya. Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga, Surabaya, Tika Widiastuti, mengatakan salah satu poin kritis yang disampaikan oleh Bank Dunia adalah bahwa reformasi Indonesia dianggap melambat jika dibandingkan dengan negara- negara yang telah berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah. Memang masih ada potensi stagnasi jika laju reformasi tidak dipercepat, terutama dalam aspek regulasi bisnis, efisiensi birokrasi, dan peningkatan produktivitas.

Dalam konteks jangka panjang, lanjut Tika, perlu diperhatikan terkait kebijakan fiskal yang harus difokuskan untuk mendukung sektor-sektor yang krusial, seperti pendidikan, riset, dan teknologi. Pengembangan sumber daya manusia yang unggul dan adopsi teknologi canggih akan menjadi pilar penting dalam meningkatkan produktivitas nasional. "Tanpa komitmen yang jelas dalam kebijakan ini, Indonesia berisiko mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi seperti yang dialami oleh banyak negara berkembang lainnya," pungkas Tika.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top