Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tanggung Jawab Membentuk UU

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Mei Susanto

Gonjang-ganjing Revisi UU Nomor 17 Tahun 20014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) syarat penguatan DPR secara berlebihan, sejatinya tidak hanya membuka tabir betapa para wakil rakyat lebih mementingkan bagi-bagi kursi pimpinan parlemen dan memerisai diri untuk tidak dikritik, tapi juga membuka tabir lain, di antaranya berupa pola komunikasi yang kurang baik di dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Hal tersebut setidaknya terlihat dari kekagetan dan ketidaktahuan Presiden Jokowi saat ditanya wartawan soal tanggapannya terhadap revisi UU MD3. Tak sampai di situ, draf final revisi UU MD3 yang sudah di meja Presiden, hanya dibiarkan. Presiden Jokowi tidak ingin menandatanganinya.

Padahal revisi tersebut telah disepakati pada pembicaraan tingkat II dalam paripurna DPR. Artinya, Presiden melalui menterinya telah menyetujui. Di sinilah titik krusialnya. Presiden sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 Ayat (2) memiliki mandat bersama DPR membahas undang-undang (UU) untuk mendapat persetujuan bersama. Tidak mungkin suatu UU disahkan dalam paripurna DPR, tanpa persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

Karena itu, dalam posisi yang ideal menjadi sulit diterima jika Presiden tidak mengetahui persetujuan terhadap sebuah UU. Keterangan Menteri Hukum dan HAM, Yassona H Laoli, yang menyebut tidak sempat melaporkan kepada Presiden Jokowi soal revisi UU MD3 adalah sumber persoalannya.

Peristiwa ini seolah mengulangi memori antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, pada tahun 2014 saat perubahan UU Pilkada. Ketika itu, mengubah pemilihan kepala daerah dari langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung melalui DPRD. Alasannya klise, Presiden SBY saat itu sedang ada di Amerika sehingga tidak diberikan laporan detail.

Publik pun merespons persoalan tersebut, sampai-sampai muncul tagline #ShameOnYouSBY, sehingga Presiden SBY saat itu mengambil tindakan untuk menandatangani UU Pilkada. Namun setelah itu, langsung mengeluarkan Perppu untuk menggantikan UU yang baru ditandatangani sehingga pilkada tetap dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat, bukan oleh anggota DPRD.

Penting

Pembentukan UU, bukanlah persoalan sepele alias penting dalam ketatanegaraan Indonesia. Ia mendapat porsi yang jelas dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi Indonesia. Jabatan presiden sendiri memiliki peran strategis dalam pembentukan UU. Pasal-pasal yang mengatur antara lain Pasal 5 Ayat (1) di mana presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR. Pasal 20, Ayat (2) presiden sebagai pembahas rancangan UU bersama DPR untuk mendapat persetujuan bersama. Kemudian, ayat (4) presiden mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama.

Dengan demikian, presiden setidaknya memiliki tanggung jawab sebagai pengusul, pembahas dan pengesah. Dalam hal tertentu, dapat saja presiden tidak mengesahkan suatu RUU yang sudah disepakati bersama. Namun demikian, Pasal 20 Ayat (5) telah menguncinya dengan mengatakan jika presiden tidak mengesahkan dalam waktu tiga puluh hari sejak disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Merujuk pada beleid tersebut, maka sejak revisi UU MD3 disetujui bersama dalam Paripurna DPR 12 Februari 2018, maka 30 hari (kerja) setelah itu, UU tersebut harus diundangkan, tanpa atau dengan pengesahan Presiden Jokowi.

Di sinilah tantangan dan tanggung jawab Presiden Jokowi dituntut. Jalan yang dapat ditempuh antara lain, Presiden Jokowi mengesahkan dan kemudian mengeluarkan Perppu untuk membatalkan. Jalan ini pernah ditempuh Presiden SBY pada tahun 2014 sebagaimana telah disebut.

Jalan ini menunjukkan presiden mengambil tanggung jawabnya. Kemudian sekaligus mengakui kekhilafannya sehingga tidak lama setelah itu melakukan pembatalan lewat mekanisme Perppu. Namun demikian, sebenarnya mekanisme ini kurang patut karena menunjukkan sistem kurang baik dalam institusi pemerintahan. Dia juga tidak menghormati proses kelembagaan yang telah terjadi. Selain itu, alasan kegentingan yang memaksa sebagai dasar dikeluarkannya Perppu juga tidak ada.

Presiden Jokowi tidak mengesahkan revisi UU MD3 tersebut dan membiarkannya sah menjadi UU setelah 30 hari. Selanjutnya, Jokowi mempersilakan masyarakat untuk mengajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian saat persidangan judicial review, Presiden dapat memerintahkan pembantunya (sebagai pihak yang memberikan keterangan) untuk mengatakan terjadinya kecolongan pasal-pasal dalam revisi UU MD3.

Jalan ini menunjukkan presiden mengambil sikap ketidaknyamanan akan substansi revisi UU MD3. Dia juga menghormati proses kelembagaan dalam pembentukan UU. Dengan demikian, presiden menggunakan lembaga lain (MK) untuk mengkoreksi revisi UU MD3.

Di luar jalan yang dapat ditempuh tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab dalam pembentukan UU, Presiden Jokowi juga harus melakukan evaluasi terhadap mekanisme dan proses komunikasi dengan para pembantunya. Para menteri selama ini mewakili presiden dalam pembahasan rancangan UU di DPR. Seyogianya, presiden menegur para menteri. Bahkan bila perlu pemecatan terhadap pembantunya yang tidak memberi informasi pembahasan sebuah UU yang sangat krusial. Apalagi kemudian menjadi senjata memperlemah presiden.

Kita tentu berharap, tragedi pembahasan rancangan UU yang menjadi tanggung jawab presiden dan DPR sebagai pembahas, namun tidak diketahui oleh pemegang tanggung jawab tersebut, tidak terulang.

Penulis Dosen FH Unpad

Komentar

Komentar
()

Top